Sub Topik

Setiap saat jutaan orang di dunia mengalami depresi. Mereka hidup seperti kehilangan pengharapan, kehilangan arah hidup. Sebagian terpaksa mengakhiri hidup dengan bunuh diri, sebagian lagi tersiksa tanpa ditangani. Semua penderitaan ini sebenarnya bisa diperkecil jika saja kita punya pengetahuan soal mitigasi depresi.
Meminjam data Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), sekitar 350 juta orang mengalami depresi (Shadrina, Bondarenko, & Slominsky, 2018). Data ini diperkuat oleh analisa kesehatan mental penduduk Asia yang dilakukan oleh Our Better World (2019) yang menyebut, sembilan juta penduduk Indonesia depresi, atau setiap satu jam, satu orang Indonesia mati bunuh diri. Ini sungguh mengerikan.
Apa Itu Depresi?
Depresi merupakan penyakit umum yang sangat berpotensi diderita oleh setiap umat manusia di seluruh dunia. Kata ini berasal dari bahasa latin, yaitu “depressio” yang berarti kesuraman, penindasan (Shadrina, et al., 2018). Ia adalah gangguan kejiwaan, terkhusus kondisi hati atau perasaan seseorang yang berlangsung cukup lama.
Depresi tidaklah sama dengan fluktuasi suasana hati dan respons emosional terhadap tantangan kehidupan sehari-hari. Apabila perubahan kondisi hati atau emosi hanya terjadi beberapa hari, hal tersebut bukanlah depresi. Namun, suasana hati atau perasaan negatif yang berlangsung lebih dari dua minggu adalah kondisi depresi.
Suasana hati atau perasaan negatif yang berlangsung lebih dari dua minggu adalah kondisi depresi
Penyebab Depresi
American Psychological Association (APA), organisasi profesi psikologi di Amerika Serikat menandaskan, berbagai permasalahan sosial, biologis, psikologis dan genetika menyumbang terhadap penyebab depresi.
Permasalahan Sosial
Pertama, permasalahan sosial yang menyebabkan depresi, yaitu kehilangan pekerjaan, pelecehan, kesulitan finansial dan gangguan keamanan.
Permasalahan Biologis
Kedua, permasalahan biologis termasuk penyakit fisik kronis, seperti gagal jantung dan hipertensi, dapat menyebabkan depresi. Selain itu, adanya perbedaan biokimia tertentu di otak dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap gejala depresi.
Tipe Kepribadian
Ketiga, tipe kepribadian yang menganggap diri rendah, mudah stres dan pesimis sangat memungkinkan seseorang untuk depresi. Masalah psikologis lainnya yang bisa memicu depresi tak lain adalah pengalaman traumatis, seperti kekerasan dan kecelakaan.
Genetika Orang Tua
Keempat, genetika orang tua yang diwariskan kepada anaknya. Unsur genetik ini pun berpotensi sebagai penyebab seseorang mengalami depresi. Seperti pernah diteliti oleh Shadrina pada tahun 2018. Hasil penelitiannya itu juga sejalan dengan yang dikatakan APA tahun 2020, bahwa apabila seseorang kembar identik mengalami depresi, kembarannya memiliki peluang 70 persen mengalami depresi.
Usia, Jenis Kelamin, Tempat Tinggal, dan Tingkat Pendidikan
Selanjutnya, penelitian Kim, Park dan Park (2021) pada tahun 2018 menemukan berbagai faktor penyebab depresi. Penelitian mereka dilakukan di Korea Selatan dengan melibatkan sebanyak 6.940 orang berusia antara 55-84 tahun. Hasil riset tersebut menemukan depresi berkorelasi dengan usia, jenis kelamin, tempat tinggal, dan tingkat pendidikan. Artinya, usia lebih tua, perempuan, lingkungan tidak sehat, dan pendidikan rendah berkontribusi sebagai penyebab depresi.
Ciri Ciri Depresi
Ciri-ciri depresi adalah munculnya perasaan negatif seperti: sedih, bersalah, kekosongan jiwa, dan merasa tidak berarti. Hal itu berlangsung selama berminggu-minggu. Perasaan bimbang atau gelisah yang berlangsung dalam waktu lama merupakan indikasi lain seseorang depresi.
Selain itu, seseorang yang depresi memiliki kecenderungan hilang pengharapan akan masa depan (hopeless). Perasaan atau kondisi hati yang demikian pun membuat penderita mengalami masalah kesehatan mental dan fisik. Adanya permasalahan kesehatan tersebut dapat diketahui melalui kemunculan berbagai gejala-gejala depresi pada diri penderita.

Gejala Depresi
Gejala depresi adalah kondisi atau situasi yang abnormal dan berlangsung selama lebih dari dua minggu. Gejala depresi setidaknya dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yakni gejala psikologis dan gejala fisik.
Gejala Psikologis
Gejala psikologis penderita depresi merupakan peristiwa abnormal terkait kejiwaan atau mental seseorang. Misalnya, seseorang dapat kehilangan minat beraktivitas, konsentrasi buruk dan perasaan bersalah yang berlebihan (WHO, 2021).
Selain itu, penelitian Elmer dan Stadtfeld (2020) menemukan hubungan gejala depresi dengan tindakan mengisolasi diri. Tindakan mengisolasi diri, seperti menghabiskan waktu sedikit berinteraksi sosial, ditemukan sebagai salah satu gejala depresi. Artinya, kecenderungan menyendiri dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama merupakan salah satu gejala depresi.
Gejala Fisik
Gejala fisik penderita depresi merupakan kondisi abnormal yang muncul pada tubuh seseorang. Gejala-gejala depresi pada fisik yang muncul dapat bervariasi tergantung pada kondisi kesehatan penderita. Contohnya, masalah pencernaan, kelelahan, perubahan aktivitas psikomotor dan perubahan nafsu makan (Trivedi, 2004).
Depresi Mayor
Ketika gejala depresi berlanjut dan tidak diatasi dengan tepat, dapat menimbulkan gangguan depresi mayor. Merujuk pada APA (2020), gangguan depresi mayor adalah penyakit medis umum dan serius. Penyakit tersebut berdampak psikologis yang mana memengaruhi perasaan, cara berpikir, dan cara bertindak seseorang. Misalnya, penderita depresi mayor mengalami kesulitan dalam memfungsikan perannya sebagai individu, pekerja dan lainnya. Sehingga, muncul pemikiran bunuh diri, gangguan tidur, perubahan nafsu makan dan rendah diri (WHO, 2021).
Ketika gejala depresi berlanjut dan tidak diatasi dengan tepat, dapat menimbulkan gangguan depresi mayor. Gangguan depresi mayor adalah penyakit medis umum dan serius. Penyakit tersebut berdampak psikologis yang mana memengaruhi perasaan, cara berpikir, dan cara bertindak seseorang.
Selain dampak negatif terhadap psikologis, gangguan depresi mayor juga dapat menimbulkan masalah kesehatan fisik. Riset Kang et al. (2017) menemukan, depresi memunculkan permasalahan kesehatan, seperti gangguan pernapasan (asma). Artinya, apabila gejala-gejala depresi berlangsung lama, itu dapat menurunkan kesehatan fisik (Drayer et al., 2006).
Meskipun depresi begitu membahayakan bagi kesehatan baik mental dan fisik, gangguan depresi dapat ditangani. APA (2020) mengungkapkan, penderita depresi yang mendapatkan bantuan profesional mayoritas terbantu mengatasi depresi. Bahkan, depresi merupakan salah satu gangguan mental yang paling mudah untuk diobati. Karenanya, hal pertama dan utama yang perlu dilakukan adalah membangun pemahaman yang benar tentang depresi. Kemudian, apabila ciri-ciri depresi dan gejala-gejala depresi tersebut muncul, disarankan untuk mengatasinya sesegera mungkin.
Cara Mengatasi Depresi
Terdapat dua cara mengatasi depresi, yaitu dengan tindakan personal dan bantuan tenaga profesional.
Tindakan Personal
Tindakan personal dapat dilakukan untuk mengatasi depresi yang masih dalam kategori ringan atau tidak kronis. Riset Al-Shannaq, Mohammad dan Aldalaykeh (2021) menemukan tingkat depresi berkorelasi positif dengan keterampilan koping. Semakin baik kemampuan koping seseorang terhadap depresi, tingkat keparahan depresi kian dapat diatasi. Beberapa koping strategi yang direkomendasikan adalah melalui agama, penerimaan, pemikiran positif, dukungan emosional dan perencanaan.
Selanjutnya, tindakan personal lainnya yang dapat dilakukan untuk mengatasi depresi, yakni melalui berbagai aktivitas fisik. Riset membuktikan, berbagai aktivitas fisik dapat mengatasi depresi (Kandola, et al., 2019). Contohnya, berjalan santai ataupun jogging adalah dua aktivitas positif yang efektif untuk mengurangi gejala depresi.
Bantuan Tenaga Profesional
Apabila tindakan personal tidak cukup mengatasi gangguan depresi, bantuan tenaga profesional bisa ditempuh. Penderita dianjurkan untuk berkonsultasi kepada ahli (psikolog atau psikiater). Para profesional kesehatan mental tersebut dapat memberikan penanganan (treatment) yang tepat untuk mengatasi depresi. Misalnya, sebelum diagnosis atau penanganan, tindakan evaluasi diagnostik menyeluruh dilakukan melalui wawancara dan pemeriksaan fisik. Ketika penanganan, tindakan yang dilakukan adalah pemberian obat, psikoterapi atau terapi bicara dan terapi elektrokonvulsif.
Tindakan personal atau bantuan profesional harus diberikan sesuai gangguan depresi yang muncul. Pasien harus terlebih dahulu memahami kondisi depresi yang dia alami. Kemudian, pasien dapat memilih salah satu cara tersebut untuk mengatasi depresinya.
Penderita gangguan depresi mayor sebaiknya tidak hanya melakukan tindakan personal, tetapi berkonsultasi dengan tenaga profesional. Hal tersebut bertujuan supaya dampak gejala-gejala depresi mayor tidak memburuk terhadap kesehatan mental dan fisik.
Karena itu, perlu sekali kita memiliki pengetahuan yang lengkap soal apa itu depresi, ciri-cirinya, penyebabnya, gejalanya dan bagaimana cara mengatasinya. Pengetahuan yang terbatas soal depresi bisa berimplikasi pada upaya pembiaran maupun penanganan yang tidak tepat. Dua hal itu dapat merugikan penderita. Sebaliknya, pengetahuan yang lengkap dan utuh soal depresi membantu kita untuk menangani depresi secara tepat dan efektif.
Referensi
Al-Shannaq, Y., Mohammad, A. A., & Aldalaykeh, M. (2021). Depression, coping skills, and quality of life among Jordanian adults during the initial outbreak of COVID-19 pandemic: Cross sectional study. Heliyon, 7(4), 1–9. Diakses dari: https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2021.e06873
American Psychiatric Association (APA). What is Depresion? Diakses dari: https://www.psychiatry.org/patients-families/depression/what-is-depression
Drayer, R. A., Piraino, B., Reynolds, C. F., Houck, P. R., Mazumdar, S., Bernardini, J., … Rollman, B. L. (2006). Characteristics of depression in hemodialysis patients: symptoms, quality of life and mortality risk. General Hospital Psychiatry, 28(4), 306–312. Diakses dari: https://doi.org/10.1016/j.genhosppsych.2006.03.008
Elmer, T., & Stadtfeld, C. (2020). Depressive symptoms are associated with social isolation in face-to-face interaction networks. Scientific Reports, 10(1), 1–12. Diakses dari: https://www.nature.com/articles/s41598-020-58297-9
Kandola, A., Ashdown-Franks, G., Hendrikse, J., Sabiston, C. M., & Stubbs, B. (2019). Physical activity and depression: Towards understanding the antidepressant mechanisms of physical activity. Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 107, 525–539. Diakses dari: https://doi.org/10.1016/j.neubiorev.2019.09.040
Kang, H. J., Bae, K. Y., Kim, S. W., Shin, H. Y., Shin, I. S., Yoon, J. S., & Kim, J. M. (2017). Impact of anxiety and depression on physical health condition and disability in an elderly Korean population. Psychiatry Investigation, 14(3), 240–248. Diakses dari: https://doi.org/10.4306/pi.2017.14.3.240
Kim, A. R., Park, J. H., & Park, H. Y. (2021). Analysis of factors affecting depression in older adults in South Korea. International Journal of Environmental Research and Public Health, 18(18), 1-10. Diakses dari: https://www.mdpi.com/1660-4601/18/18/9887
Our Better World. (2019). Mental health in Asia: The numbers. Diakses dari: https://www.ourbetterworld.org/series/mental-health/support-toolkit/mental-health-asia-numbers
Shadrina, M., Bondarenko, E. A., & Slominsky, P. A. (2018). Genetics factors in major depression disease. Frontiers in Psychiatry, 9(July), 1–18. Diakses dari: https://www.frontiersin.org/articles/10.3389/fpsyt.2018.00334/full
Trivedi, M. H. (2004). The link between depression and physical symptoms. Primary Care Companion to the Journal of Clinical Psychiatry, 6(1), 12–16. Dikases dari: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/16001092/
World Health Organization (WHO). (2021). Depression. Diakses dari: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/depression
*This article is reviewed by Ganda M. Y. Simatupang, M. Psi., Psikolog