
Retardasi mental atau keterbelakangan mental juga umum dikenal sebagai tunagrahita. Disabilitas ini berdampak signifikan terhadap kemampuan belajar anak.
Kondisi ini memiliki karakteristik khusus yaitu keterlambatan dalam perkembangan mental. Hal ini yang menjadi penyebab seorang anak keterbelakangan mental mengalami berbagai kesulitan dalam proses belajar. Baik belajar untuk menguasai keterampilan hidup sehari-sehari maupun belajar secara akademik.
Artikel ini akan mengulas secara singkat mengenai dampak retardasi mental terhadap kemampuan belajar anak. Kemudian, akan dibahas juga mengenai bimbingan belajar bagi anak retardasi mental.
Dampak Retardasi Mental pada Belajar
Di bawah ini adalah gambaran kesulitan belajar yang umumnya dialami oleh anak-anak retardasi mental. Penjelasan ini juga dapat membantu untuk memahami ciri ciri anak keterbelakangan mental (Shree, et al, 2016).
#1 Keterlambatan Kognisi Secara Umum
Hal pertama yang menjadi penghambat belajar adalah keterlambatan perkembangan intelektual pada anak disabilitas. Mereka akan menunjukkan keterbelakangan kemampuan kognisi umum dibanding anak-anak seusianya. Kondisi ini teramati dari rendahnya kemampuan belajar, serta lambatnya perkembangan emosional dan kepribadian anak.
Sebagai contoh, seorang anak usia 2-3 bulan sewajarnya telah dapat merespon ketika ada suara yang menyebut namanya. Namun, anak keterbelakangan mental mungkin baru akan mencapai perkembangan ini pada usia di atas 4 bulan. Keterlambatan semacam ini akan semakin nyata dalam setiap tahap perkembangannya.
#2 Kesulitan untuk Mengingat
Karakteristik anak retardasi mental berikutnya adalah kesulitan untuk mengingat. Ketika dalam proses belajar, anak dengan kondisi ini akan kesulitan untuk menerima dan memproses informasi baru. Dapat dikatakan bahwa jumlah rangsangan yang diterima dan yang mampu diproses adalah tidak sebanding.
Selain itu, mereka tidak dapat dengan serta-merta menemukan keterkaitan antara informasi baru dengan memori yang sudah ada. Begitu juga sebaliknya, mereka mengalami kesulitan untuk menerapkan informasi yang sudah ada dalam memori pada situasi baru.
#3 Tak Dapat Memusatkan Perhatian
Sedangkan dalam hal perhatian, anak dengan tunagrahita mengalami kesulitan untuk fokus pada rangsangan tertentu. Mereka cenderung tidak bisa menyaring rangsangan atau informasi yang menonjol untuk diproses lebih lanjut.
Akibatnya, mereka lambat untuk merespon atau bahkan tidak merespon karena rangsangan yang terlewat begitu saja.
Ketika mulai memasuki usia sekolah. Anak-anak dengan kondisi ini akan kesulitan untuk mengikuti proses belajar. Kondisi paling umum adalah tidak dapat memusatkan perhatian untuk memproses informasi instruksi atau penjelasan dari guru.
#4 Kesulitan dalam Bicara dan Bahasa
Anak dengan retardasi mental menunjukkan fungsi yang tertunda pada hampir semua aspek. Tak kecuali dalam aspek bicara dan bahasa. Dampak retardasi mental pada komunikasi dan bicara adalah gangguan yang signifikan bagi perkembangan anak.
Selain kesulitan ketika belajar memahami bahasa, anak-anak ini juga susah berbicara, serta kesulitan memahami kapan waktu untuk diam atau berbicara karena rendahnya fungsi regulasi diri. Oleh karena itu, tertundanya perkembangan fungsi komunikasi dapat menjadi salah satu screening dalam mengenali disabilitas ini (Gull, 2015).
#5 Rendahnya Motivasi
Anak dengan tunagrahita sangat mungkin mengalami banyak kegagalan dalam proses belajar dan pelatihan keterampilan hidup. Kekecewaan dan ketidakberdayaan membuat mereka membutuhkan lebih banyak motivasi eksternal.
Selain itu, tertundanya perkembangan kognisi juga membuat mereka kurang mampu membangun tujuan hidup dalam diri untuk membentuk motivasi internal.
Rendahnya motivasi berdampak semakin buruk pada perkembangan belajar anak. Oleh karena itu, orang tua dan lingkungan sosial perlu terus memberi dukungan agar anak keterbelakangan mental bersemangat untuk menguasai hal baru.
#6 Prestasi Akademik
Pada akhirnya, retardasi mental yang menjadi penyebab rendahnya kemampuan belajar anak akan berdampak pada prestasi akademik anak di sekolah. Anak-anak kesulitan untuk memusatkan perhatian, menyerap informasi, mengingat, hingga mengkomunikasikannya kembali ketika menjawab soal.
Retardasi mental yang menjadi penyebab rendahnya kemampuan belajar anak akan berdampak pada prestasi akademik anak di sekolah. Anak-anak kesulitan untuk memusatkan perhatian, menyerap informasi, mengingat, hingga mengkomunikasikannya kembali ketika menjawab soal.
Selain itu, secara spesifik mereka juga akan menunjukkan keterbatasan dalam bidang matematika dasar. Anak-anak tunagrahita dapat memahami konsep-konsep dasar, tetapi kesulitan untuk menerapkannya dalam situasi nyata untuk memecahkan masalah.
Oleh karena itu, anak dengan tunagrahita membutuhkan bimbingan belajar yang lebih intensif dibanding anak-anak lain seusianya.
Bimbingan Belajar Bagi Anak Retardasi Mental
Anak-anak dengan disabilitas intelektual dianjurkan untuk mengikuti asesmen yang dilakukan oleh profesional. Hasil asesmen akan menunjukkan klasifikasi retardasi mental yang memberikan gambaran kemampuan belajar anak.
Hal ini yang akan mendasari pemilihan jenis bimbingan belajar atau sekolah yang sesuai untuk anak tunagrahita. Orang tua setidaknya akan berhadapan dengan 3 pilihan jenis sekolah berikut ini.
Sekolah Reguler
Pada dasarnya bukan tidak mungkin anak dengan tunagrahita mengikuti sekolah reguler bersama dengan anak-anak seusianya. Anak-anak dengan klasifikasi retardasi mental rendah masih mungkin mengikuti kegiatan akademik normal.
Namun, kurikulum sekolah reguler yang fokus pada akademik dengan menghadapkan semua siswa pada mata pelajaran yang sama sebenarnya merugikan bagi anak keterbelakangan mental (Kiarie, 2006).
Sebab, anak-anak ini mungkin memiliki kebutuhan khusus yang berbeda pada tiap kasusnya. Kondisi ini akan kurang terakomodir di sekolah reguler kecuali yang menerapkan sistem kelas inklusi.
Sekolah Luar Biasa
Berbeda dengan sekolah regular, sekolah luar biasa menerapkan kurikulum khusus untuk anak disabilitas. Anak retardasi mental akan dikelompokkan sesuai dengan kombinasi usia fisik, mental, serta kemampuan untuk bersosialisasi (SSA).
Fokus kurikulum adalah pada perkembangan fungsi individu yang dilatih bersamaan dengan potensi akademik yang khas pada setiap kasus retardasi mental. Fungsi individu yang dikembangkan ini biasanya juga menyesuaikan dengan lingkungan sosial dan konteks budaya.
Pertemuan klasikal pada sekolah luar biasa juga menjadi kelebihan. Interaksi sosial yang sesuai dibutuhkan oleh anak-anak tunagrahita sebagai ajang berlatih untuk terlibat dalam kehidupan sosial (Shree, et al, 2016). Hal ini mungkin kurang terakomodir apabila anak berada di sekolah reguler (bukan inklusi) atau homeschooling.

Homeschooling
Sedangkan homeschooling sesuai untuk kasus retardasi mental yang memiliki tingkat kemandirian sangat rendah. Pada klasifikasi tertentu, anak memang dapat memiliki ketergantungan yang besar untuk kebutuhan pribadinya.
Alasan lain misalnya terdapat riwayat kasus yang menunjukkan adanya kebutuhan pendampingan individu pada anak. Pada kasus seperti ini, homeschooling kemudian dipilih agar proses rehabilitasi dapat berlangsung optimal.
Meski demikian, anak-anak tunagrahita disarankan untuk segera masuk ke pra-sekolah reguler maupun sekolah luar biasa. Hal ini dibutuhkan agar anak-anak tersebut memperoleh manfaat yang optimal dalam proses belajar beradaptasi dengan lingkungan.
Meminimalkan Dampak Retardasi Mental
Ada berbagai pilihan dan solusi untuk mencegah kondisi retardasi mental mendatangkan dampak yang semakin buruk di masa depan. Pendidikan yang tepat merupakan salah satunya.
Orang tua memiliki peran penting untuk meminimalkan dampak retardasi mental pada kemampuan belajar anak. Anak dengan kondisi ini membutuhkan bimbingan belajar yang lebih intensif dibandingkan anak-anak lain seusianya.
Target belajar yang diterapkan tidak hanya fokus pada prestasi akademik. Melainkan juga pada perkembangan kemampuan individu yang akan ia butuhkan untuk melanjutkan hidup normal.
Langkah pertama yang perlu diambil oleh orang tua adalah segera menghubungi profesional jika anak menunjukkan gejala atau ciri keterlambatan perkembangan. Dengan demikian, profesional akan melakukan asesmen untuk menegakkan diagnosis dan memberikan rujukan yang paling sesuai untuk meminimalkan dampak jangka panjang.
Referensi
Gull, Mubashir (2015) Mental Retardation: Early Identification and Prevention. The International Journal of Indian Psychology. Vol 2, Issue 3, ISSN 2349-3429 (e).
Kiarie, Marry W (2006) Educational Services for Students With Mental Retardation in Kenya. International Journal of Special Education, Vol21 No.2, p47-54.
Shree, Abha. Shukla, P.C. (2016) Intellectual Disability: definition, classification, causes and characteristics. New Delhi Publisher. Learning Community: 7 (1): 9-20 April, 2016. DOI: 10.5958/2231-458X.2016.00002.6
*This article is reviewed by Ganda M. Y. Simatupang, M. Psi., Psikolog