
Depresi berat sangat berbahaya karena berkaitan dengan self harm dan mengancam nyawa. Januari 2022 lalu, seorang mahasiswa di Poso, Sulawesi Tengah, ditemukan tewas di dalam rumahnya. Ia gantung diri. Lelaki berumur 21 tahun itu disebut-sebut mengalami depresi sehingga nekat bunuh diri.
Kasus seperti ini banyak terjadi di berbagai daerah tanah air dan di segala penjuru dunia. Data dari WHO menyebutkan setiap 40 detik, seseorang di dunia meninggal karena bunuh diri. Ini sangat mengerikan.
Orang bisa merenggut nyawanya sendiri karena depresi. Kita jadi bertanya-tanya: Mengapa orang yang depresi bisa nekat bunuh diri? Pertanyaan sederhana ini tentu jawabannya tidaklah sederhana.
Ciri-Ciri Depresi Berat
Bachmann (2018) mengungkapkan bahwa kebanyakan orang yang meninggal karena bunuh diri menderita gangguan jiwa. Kesimpulan itu ia dapatkan setelah melakukan otopsi psikologis terhadap banyak korban depresi selama bertahun-tahun. Depresi menjadi penyakit yang bisa membahayakan mental setiap orang.
Penyakit ini timbul bagi semua orang karena manusia diciptakan memiliki perasaan. Perasaan ini sangat anti dengan hal-hal yang menyakiti. Sakit yang mendalam ini berpotensi membuat seseorang bisa mengalami depresi. Depresi yang dialami bisa ringan maupun berat (American Psychiatric Association, 2000).
Felix Torres (2020) mengartikan depresi berat merupakan kondisi saat seseorang mengalami sakit mental yang sangat serius. Mereka merasakan kesedihan atau putus asa yang berkepanjangan. Anggapan seseorang yang mengalami depresi berat seolah harapan apapun tak layak dia terima.
Kepala Kedokteran Forensik ini juga menambahkan bahwa seseorang mengalami depresi berat tidak hanya merasa sedih. Akibat penderitaan hati yang begitu berat, menyebabkan seseorang tak mampu melakukan apapun dengan baik. Pola hidupnya menjadi tidak normal seperti orang lain lazimnya.
Depresi berat tentu membahayakan hidup. Tak sedikit orang yang mengalami gangguan depresi menyerah dan akhirnya memilih mengakhiri hidupnya. Menurut data dari WHO, lebih dari 264 juta orang mengalami depresi. Dan sebanyak 800.000 penderita di antaranya meninggal dunia setiap tahunnya, dengan cara bunuh diri.
Menurut data dari WHO, lebih dari 264 juta orang mengalami depresi. Dan sebanyak 800.000 penderita di antaranya meninggal dunia setiap tahunnya, dengan cara bunuh diri.
Pengertian Masyarakat Tentang Depresi
Sayangnya, literasi masyarakat tentang depresi masih rendah. Sangat perlu bagi masyarakat untuk mengetahui apa itu depresi dan apa saja jenis-jenisnya. Supaya dengan pengetahuan yang lengkap, masyarakat semakin mengerti dan paham soal depresi. Pengetahuan itu sangat penting untuk membantu masyarakat kita mengambil keputusan di dalam menjalani kehidupannya. Salah mengambil keputusan, bisa fatal akibatnya.
Karena itu, dengan memiliki pengetahuan yang lengkap tentang depresi, masyarakat akan semakin peduli terhadap penderitanya. Bahkan bersedia mendeteksi potensi depresi yang mungkin dialami orang-orang yang dia cintai, seperti anggota keluarganya. Dengan mendeteksi potensi depresi, mereka akan bisa menentukan sikap dan tindakan berikutnya untuk dilakukan.
Jenis Depresi
Setiap jenis depresi melatari penyebab utamanya. Baik depresi mayor dan gangguan depresi persisten, gejala dininya tak dapat diabaikan. Kedua jenis depresi ini bisa melumpuhkan kesadaran sehingga kita tak sadar betapa berharganya hidup.
Depresi Mayor
Depresi mayor atau Major Depressive Disorder (MDD) merupakan gangguan psikologis paling berat bagi seseorang. Namun, pengobatan untuk depresi mayor ini masih sangat rendah. Studi yang dilakukan Chisholm (2016), pengidap depresi ini harus dikurangi aktivitasnya. Penyebab spesifik depresi mayor masih tidak dapat diketahui secara pasti.
Felix Torres (2020), gejala dini depresi mayor ditandai ketika seseorang mengalami gangguan suasana hati berkepanjangan. Penyebabnya bisa dari lingkungan sosial tempat seseorang berada. Konflik sosial dapat menimbulkan beban perasaan dan perilaku bagi seseorang yang tak mampu mengendalikannya.
Tak hanya merasa susah hati, orang dengan gangguan depresi, kerap mengalami pergulatan-pergulatan pikiran di dalam kepalanya. Imbasnya, ia menjadi susah tidur, kehilangan nafsu makan terus- menerus. Perasaan individu ini akan lebih sensitif terhadap hal remeh-temeh. Ia juga menjadi gampang marah, mudah tersinggung, suka menyendiri, dan menghindari berbaur dengan orang lain.
Depresi Persisten
Gangguan depresi persisten atau Persistent Depressive Disorder (PDD) juga memiliki sebutan lain, yaitu Distimia. Distimia memiliki gejala yang tidak jauh berbeda dengan depresi mayor. Felix menambahkan distimia merupakan depresi kronis yang diperumit oleh depresi mayor. Seseorang dengan gangguan distimia memiliki suasana hati yang tertekan hampir sepanjang hari. Gangguan ini setidaknya bisa dialami seseorang hingga dua tahun.
Gangguan distimia dapat menyerang siapa pun, termasuk anak-anak dan remaja. Gejala ini bisa muncul berhari-hari bahkan sampai bertahun-tahun. Pengidap distimia akan menunjukkan masalah perilaku dan kinerja yang buruk dalam beraktivitas (Sansone, 2009).
Depresi gangguan persisten dapat muncul kapan pun. Gejalanya dapat datang maupun pergi, tetapi tingkat keparahannya bervariasi dari waktu ke waktu. Gejala PDD tidak separah MDD, namun durasinya lebih lama daripada MDD.
Distimia dikaitkan dengan gangguan nafsu makan, kesulitan berkonsentrasi, gangguan tidur, hilang energi dan putus asa. Orang dewasa didiagnosis distimia ketika ia belum bebas dari gejala depresi lebih dari dua bulan. Penderita distimia cenderung tidak bisa bekerja penuh waktu. Penelitian Sandhu (2016); menunjukkan bahwa sifat kronis distimia dapat menyebabkan gangguan fungsi lebih besar daripada depresi akut. Seseorang dengan distimia memiliki resiko 71,4 persen untuk kambuh ke periode lain
Self Harm
Baik MDD maupun PDD, keduanya sangat membahayakan hidup. Gangguan depresi mayor yang sangat tinggi bisa membuat seseorang mau bunuh diri. Bentuk sikap seseorang yang depresi adalah keinginan menyakiti dirinya sendiri, disebut self-harm. Self-harm merupakan perilaku seseorang melukai dirinya atau meracuni dirinya terlepas dari motif bunuh diri.
Keinginan menyakiti dirinya sendiri dihubungkan dengan risiko masalah kesehatan mental. Self-harm membuat seseorang berani mengambil risiko sehingga menyebabkan kematian dini terjadi padanya. Namun, tidak semua orang yang mengambil tindakan menyakiti dirinya sendiri adalah bunuh diri.
Dalam hal ini, menyakiti diri sebagai upaya untuk mengatasi tekanan emosional dan psikologi yang intens. Demikian pernyataan tersebut merupakan hasil studi Berger (2017). Namun, self-harm tetap menjadi perhatian masalah psikologis bagi kesehatan mental.

MDD, PDD, dan self-harm, setelah melihat penjabarannya, kita diarahkan untuk bisa membedakannya. Ketiga gangguan mental di atas bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja. Gangguan mental tersebut meskipun berbeda tingkat kefatalannya, tetapi sama-sama berbahaya bagi nyawa seseorang.
Gangguan psikologis tersebut termasuk kategori depresi berat dan tidak bisa diobati dengan pengobatan medis saja. Keinginan kuat dari diri sendiri sangat dibutuhkan untuk melawan gangguan ini. Kerap sekali perilaku seseorang tanpa disadari telah menyakiti dirinya sendiri. Misalnya, suka terlambat makan, suka melakukan aktivitas berat melebihi kemampuannya, merupakan juga salah satu contoh self-harm.
Seseorang yang memiliki kebiasaan buruk dan merusak kesehatannya juga bentuk perilaku self-harm. Kita tidak menyadari betapa berharganya diri ini, tidak hanya sehat secara fisik saja. Memelihara kesehatan mental sangat besar kontribusinya untuk membuat seseorang bahagia menjalani hidup.
Memelihara kesehatan mental sangat besar kontribusinya untuk membuat seseorang bahagia menjalani hidup.
Penyebab Bunuh Diri
Keinginan bunuh diri atau melukai diri sendiri adalah fenomena yang sangat kompleks. Faktor biologis, psikologis, sosiologis, pengalaman hidup seseorang, budaya, dan politik cenderung mempengaruhi. Hal ini sering terjadi ketika orang secara tidak proporsional dipengaruhi oleh kondisi masyarakat. Kondisi tersebut meliputi ketidakadilan, diskriminasi, penindasan, dan trauma sejarah.
Itulah mengapa keinginan bunuh diri sangatlah pantang dan harus dijauhkan dari dalam diri. Mengucapkan “aku depresi, aku ingin mati” mengakibatkan penolakan jiwa di bumi. Seseorang yang mengidap depresi harus dirangkul agar tidak menyugesti dirinya untuk bunuh diri.
Baik orang tua, anak muda hingga masyarakat, informasi untuk tidak bunuh diri demikian harus diberdayakan. Adanya pemberian pemahaman serta pendekatan impulsif bahwa manusia tidak hidup sendiri, tetapi hidup berdampingan.
Pengobatan Depresi Berat dan Self Harm
Membangun koneksi dengan orang lain menjadi strategi penting untuk mengatasi rasa terisolasi. Strategi ini didukung kuat oleh penelitian Doyle (2015). Membangun komunikasi yang intens dengan orang lain dapat menetralisir perasaan seseorang yang sedang tertekan.
Aspek penting dari risiko bunuh diri harus ditegaskan ketika muncul gejala pengungkapan ide bunuh diri. Pihak medis dapat memberikan pedoman pencegahan bunuh diri di institusi perawatan kesehatan mental. Demikian diperbuat sehingga ada keterlibatan orang lain untuk memberikan penjagaan dan pengawasan.
Pentingnya mencintai diri menjadi kunci utama mengatasi segala macam depresi. Gangguan ini dapat diobati, meskipun hasilnya mungkin sederhana dan tidak permanen, dan tentu saja merepotkan. Tetapi, selalu ada harapan untuk bisa bersama-sama menekan angka bunuh diri.
*This article is reviewed by Ganda M. Y. Simatupang, M. Psi., Psikolog