Sub Topik

Ada sebuah kepercayaan kuno di barat yang meyakini bahwa orang cerdas (jenius) dan gangguan jiwa tidak terpisahkan. Seneca seorang filsuf Yunani berkata “tidak ada jenius yang hebat tanpa kegilaan”. Kepercayaan ini mengundang perdebatan dan kontroversi di antara para peneliti. Apakah kepercayaan ini masih berlaku hingga saat ini? Benarkah gangguan jiwa merupakan penyakit orang jenius?
Sisi Gelap Orang Pintar: Orang Jenius dan Gangguan Jiwa
Tokoh Vincent Van Gogh, Mozart, Beethoven, Ernest Hemingway, dan Michelangelo merupakan satu dari sekian tokoh jenius dengan gangguan jiwa. Pada akhir abad ke-19, para ahli percaya bahwa jenius dan gila saling berhubungan erat.
Hal ini didasarkan dari anggapan orang Yunani dan Romawi kuno yang berspekulasi bahwa orang jenius memiliki keterkaitan dengan psikopatologi. Sedangkan pendapat para ahli terpecah menjadi dua kubu. Pertama, mereka yang percaya bahwa orang jenius dengan gangguan jiwa merupakan mitos. Hal ini didasarkan pada aliran psikologi humanistik dan positif yang beranggapan bahwa orang yang jenius memiliki kondisi sehat mental yang unggul.
Sedangkan sebagian yang lain percaya bahwa jenius dan gangguan jiwa memiliki keterkaitan yang kuat meskipun hanya sedikit ahli yang mempercayai pendapat ini. Hal ini didasarkan pada hasil riset yang menunjukkan bahwa orang yang jenius memiliki kognitif dan disposisi tertentu yang sama dengan orang yang rentan kondisi mental dan emosionalnya. Ini seolah menunjukkan kelemahan orang jenius di balik kepintaran mereka.
Untuk mengetahui apakah jenius dan gangguan jiwa saling berkaitan atau mitos, para ahli menggunakan tiga pendekatan penelitian yaitu studi historiometry, studi psikiatri, dan studi psikometri. Berbagai penelitian yang mencoba membuktikan kaitan antara intelegensi dan gangguan jiwa menunjukkan hasil yang bergaram walaupun memang terlihat adanya hubungan antara keduanya.
Berbagai penelitian yang mencoba membuktikan kaitan antara intelegensi dan gangguan jiwa menunjukkan hasil yang bergaram walaupun memang terlihat adanya hubungan antara keduanya.
Studi Historiometry
Melalui studi ini, para ahli menganalisis biografi orang jenius terkemuka untuk mengamati gejala yang mirip dengan gangguan jiwa. Kesimpulan dari studi ini adalah:
- Tingkat dan intensitas gangguan jiwa biasanya tampak lebih tinggi di antara kreator daripada populasi umum. Selain itu, seniman yang sangat jenius diperkirakan memiliki kemungkinan dua kali lebih besar mengalami gangguan jiwa dibandingkan orang yang tidak kreatif. Depresi merupakan gangguan yang paling umum dialami oleh orang-orang jenius yang juga berkaitan dengan alkoholisme dan bunuh diri.
- Para penulis atau penyair menunjukkan tingkat gangguan jiwa yang lebih tinggi daripada komposer dan seniman. Sedangkan para ilmuwan menunjukkan tingkat gangguan jiwa yang paling rendah, bahkan lebih rendah dari para politisi. Pada studi ini, hampir sepertiga jenius intelektual ditemukan tidak memiliki gangguan jiwa apapun.
Studi Psikiatri
Hasil studi psikiatri juga menunjukkan tingkat dan intensitas gejala gangguan jiwa kreator lebih tinggi di antara seniman lainnya. Depresi, alkoholisme, dan bunuh diri menjadi masalah gangguan jiwa yang paling umum dialami para kreator. Selain itu, garis keturunan juga turut berhubungan dengan jenius dan gangguan jiwa.
Studi Psikometri
Dalam studi ini, pengukuran tes psikologi seperti Minnesota Multiphasic Personality Inventory digunakan untuk menilai orang-orang jenius. Hasilnya, orang yang jenius memiliki skor di atas normal pada beberapa bagian yang berkaitan dengan gangguan jiwa. Skor mereka berada pada rentang normal dan abnormal. Artinya mereka tidak menunjukkan gejala yang terlalu parah sebab orang yang jenius mampu mengontrol gejala mereka dan menyalurkan gejala gangguan jiwa untuk menciptakan sesuatu yang kreatif.
Mengapa Orang yang Depresi Cenderung Lebih Cerdas?
Orang cerdas memiliki banyak keuntungan baik dari segi akademis, pekerjaan, hingga umur yang lebih panjang. Di sisi lain, kecerdasan dianggap dapat menjadi bumerang bagi orang yang memilikinya. Sebab orang cerdas “dianggap” lebih rentan mengalami gangguan jiwa, salah satunya depresi. Lalu, benarkah orang cerdas memiliki kecenderungan depresi lebih tinggi daripada kebanyakan orang? Apakah depresi memang derita orang pintar?
Apa Itu Cerdas?
Kecerdasan atau intelegensi dapat diartikan sebagai kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir rasional dan memecahkan masalah. Kecerdasan tidak dapat diamati secara langsung melainkan perlu tindakan konkret untuk menunjukkan proses berpikir yang rasional. Orang cerdas mampu bertindak secara tepat dan efektif dalam menghadapi lingkungan.
Kecerdasan dikaitkan dengan kesehatan fisik dan umur panjang yang lebih baik. Namun, beberapa peneliti berpendapat bahwa orang cerdas berisiko tinggi mengalami depresi dan gangguan somatis. Akan tetapi, hasil penelitian ini masih menjadi perdebatan.
Benarkah Orang Cerdas Depresi Lebih Tinggi?
Depresi justru membuat orang mengalami penurunan kognitif (cognitive impairment). Penurunan ini membuat orang dengan depresi sulit berpikir, konsentrasi, hingga membuat keputusan. Sedangkan orang dianggap cerdas ketika mampu berpikir dengan cepat dan efektif dalam menghadapi tuntutan lingkungan. Hal ini diperkuat dengan hasil riset yang menunjukkan bahwa orang cerdas di masa muda melaporkan kesehatan mental yang lebih baik dan tingkat depresi yang lebih rendah pada usia 40 tahun.
Lebih lanjut, Navrady et al. (2017) mengungkapkan bahwa kecerdasan dapat melindungi seseorang dari risiko depresi dan gangguan kecemasan. Hal ini disebabkan karena orang cerdas lebih mampu menggunakan strategi koping yang tepat saat masa-masa sulit. Selain itu, orang cerdas cenderung lebih cepat mencari bantuan saat berada dalam tekanan sehingga risiko depresi dapat teratasi dengan cepat.

Hasil riset lain juga mengungkapkan bahwa kecerdasan bukanlah faktor risiko peningkatan gangguan kejiwaan, melainkan faktor pelindung. Trauma yang dimiliki orang cerdas ditemukan dapat berkurang daripada orang yang kecerdasannya lebih rendah (Williams et al., 2023).
Benarkah IQ Tinggi Identik dengan Depresi?
Kecerdasan dan IQ tidak dapat terpisahkan. Sebab IQ digunakan untuk mengukur kecerdasan dan aspek kognitif seseorang. Selain itu, IQ juga digunakan sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi kondisi kesehatan mental seseorang, termasuk gangguan jiwa. Lalu apa itu IQ? Apakah depresi merupakan penyakit orang terlalu pintar? Rentankah orang IQ tinggi terhadap gangguan depresi?
Apa Itu IQ?
IQ merupakan singkatan dari Intelligence Quotient yang berarti kemampuan intelektual seseorang dalam mengamati, menganalisis, dan menginterpretasikan situasi dan kondisi. IQ dapat diukur melalui beberapa alat tes psikologi. IQ pertama kali diperkenalkan oleh Psikolog Prancis, Alfred Binet.
Peran IQ Terhadap Depresi
Kognitif berperan dalam etiologis dan prognosis orang dengan depresi. Tingkat kognitif yang lebih tinggi dapat mempengaruhi tingkat kesembuhan dan mencegah kambuh pada orang dengan gangguan jiwa. IQ yang tinggi dapat menjadi faktor pencegah gangguan jiwa serta mengurangi tingkat keparahan gangguan. Lebih lanjut, orang dengan IQ yang tinggi lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami trauma, kecuali jika mengalami pelecehan saat masa dewasa.
Di sisi lain, terdapat hasil riset yang menunjukkan temuan sebaliknya. Orang dengan IQ tinggi ditemukan rentan mengalami gangguan jiwa. Hal ini disebabkan aktivitas otak mereka cenderung lebih aktif. Aktivitas otak yang aktif mengakibatkan mereka merenungi kesalahan masa lalu secara intens, khawatir yang berlebihan, hingga sensitif berlebihan terhadap ancaman. Akibatnya, mereka berisiko mengembangkan gangguan jiwa.
IQ yang rendah juga ditemukan berkaitan dengan kondisi kesehatan mental seseorang. Hasil riset menunjukkan bahwa IQ yang rendah di masa anak-anak lebih berisiko mengalami depresi, skizofrenia, dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Lebih lanjut, IQ yang rendah juga dapat memprediksi tingkat gejala gangguan jiwa dan tekanan psikologis yang lebih tinggi. IQ yang rendah ditemukan berisiko mengalami keinginan bunuh diri (suicidal ideation) dan kematian akibat bunuh diri (suicide mortality) yang lebih besar.
Fakta Soal Depresi dan Intelegensi
Orang dengan intelegensi tinggi bisa memanfaatkan kecerdasan untuk mengatasi depresi dengan lebih cepat, namun di satu sisi kondisi mereka bisa semakin parah karena mereka terlalu memikirkan atau menganalisis berbagai hal. Walau demikian, dapat disimpulkan bahwa depresi dan intelegensi memang bisa saling mempengaruhi satu sama lain, namun ada banyak faktor lain yang berkontribusi terhadap kondisi depresi seseorang, baik dari genetik maupun lingkungan.
Orang dengan intelegensi tinggi bisa memanfaatkan kecerdasan untuk mengatasi depresi dengan lebih cepat, namun di satu sisi kondisi mereka bisa semakin parah karena mereka terlalu memikirkan atau menganalisis berbagai hal.
Bukan berarti orang dengan IQ tinggi pasti mengalami depresi. Begitupun sebaliknya, belum tentu orang dengan IQ rendah rentan terhadap depresi. Intelegensi tidak dapat dijadikan tolak ukur utama dalam mengetahui penyebab depresi dan gangguan jiwa lainnya. Anda bisa menemukan pendekatan yang komprehensif terkait depresi dan kecerdasan pribadi melalui konsultasi dengan para ahli.
Referensi
Ball, L. C. (2014). The Genius in History: Historiographic Explorations. The Wiley Handbook of Genius, 1–19. https://doi.org/10.1002/9781118367377.CH1
Carson, S. H. (2014). Cognitive Disinhibition, Creativity, and Psychopathology. The Wiley Handbook of Genius, 198–221. https://doi.org/10.1002/9781118367377.CH11
Chan, D. W. (2001). The Mad Genius Controversy: Does the East Differ from the West? Education Journal, 29.
Gondal, U. H., & Husain, T. (2013). A Comparative Study of Intelligence Quotient and Emotional Intelligence: Effect on Employees’ Performance. Asian Journal of Business Management, 5(1), 153–162.
Hung, G. C. L., Pietras, S. A., Carliner, H., Martin, L., Seidman, L. J., Buka, S. L., & Gilman, S. E. (2016). Cognitive ability in childhood and the chronicity and suicidality of depression. The British Journal of Psychiatry, 208(2), 120–127. https://doi.org/10.1192/BJP.BP.114.158782
Karpinski, R. I., Kinase Kolb, A. M., Tetreault, N. A., & Borowski, T. B. (2018). High intelligence: A risk factor for psychological and physiological overexcitabilities. Intelligence, 66, 8–23. https://doi.org/10.1016/J.INTELL.2017.09.001
Kaufman, J. C. (2001). Genius, Lunatics, and Poets: Mental Illness in Prize-Winning Authors. Imagination, Cognition, and Personality, 20(4), 305–314. https://doi.org/10.2190/M3W0-AT3T-GTLE-0L9G
Navrady, L. B., Ritchie, S. J., Chan, S. W. Y., Kerr, D. M., Adams, M. J., Hawkins, E. H., Porteous, D., Deary, I. J., Gale, C. R., Batty, G. D., & McIntosh, A. M. (2017). Intelligence and neuroticism in relation to depression and psychological distress: Evidence from two large population cohorts. European Psychiatry, 43, 58. https://doi.org/10.1016/J.EURPSY.2016.12.012
Pratiwi, B. S. (2021). The Role of Intelligence Quotient as a Risk Factor for Depression: a Literature Review. Scientia Psychiatrica, 2(1), 51–54. https://doi.org/10.37275/scipsy.v2i1.30
Reddy, I., Ukrani, J., Indla, V., & Ukrani, V. (2018). Creativity and psychopathology: Two sides of the same coin? Indian Journal of Psychiatry, 60(2), 168. https://doi.org/10.4103/PSYCHIATRY.INDIANJPSYCHIATRY_129_18
Rock, P. L., Roiser, J. P., Riedel, W. J., & Blackwell, A. D. (2014). Cognitive impairment in depression: a systematic review and meta-analysis. Psychological Medicine, 44(10), 2029–2040. https://doi.org/10.1017/S0033291713002535
Simonton, D. K. (2014). The Mad-Genius Paradox: Can Creative People Be More Mentally Healthy But Highly Creative People More Mentally Ill? Perspective on Psychological Science, 9(5), 470–480. https://doi.org/10.1177/1745691614543973
Williams, C. M., Peyre, H., Labouret, G., Fassaya, J., García, A. G., Gauvrit, N., & Ramus, F. (2023). High intelligence is not associated with a greater propensity for mental health disorders. European Psychiatry, 66(1), e3. https://doi.org/10.1192/J.EURPSY.2022.2343
Wraw, C., Deary, I. J., Der, G., & Gale, C. R. (2016). Intelligence in youth and mental health at age 50. Intelligence, 58, 69–79. https://doi.org/10.1016/J.INTELL.2016.06.005
*This article is reviewed by Ganda M. Y. Simatupang, M. Psi., Psikolog