Sub Topik

Dampak bunuh diri tidak hanya sekedar menimbulkan duka yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Anggota keluarga dapat merasakan efek lebih buruk yang membuatnya perlu mendapat penanganan yang serius.
Artikel ini akan mencoba menggambarkan beberapa dampak yang dirasakan oleh keluarga. Pada bagian penutup juga akan ada saran untuk meminimalkan petaka akibat bunuh diri ini.
Sebagai pengingat, artikel ini bertujuan sebagai rujukan edukatif. Apabila pembaca merasa tidak nyaman, dianjurkan untuk tidak melanjutkan membaca. Segeralah membuat janji konsultasi dengan profesional apabila dirasa membutuhkan.
Anggota Keluarga sebagai Penyintas
Anggota keluarga berperan sebagai penyintas (suicide loss survivor) dalam sebuah peristiwa bunuh diri (Flynn, et al, 2008). Bagaimana tidak, keluarga yang ditinggalkan harus menjalani proses sulit yang mungkin tidak sebentar. Keluarga dari korban bunuh diri memiliki beban berat tersendiri karena kematian akibat bunuh diri memiliki efek yang berbeda dibanding kematian dengan penyebab lainnya.
Keluarga dari korban bunuh diri memiliki beban berat tersendiri karena kematian akibat bunuh diri memiliki efek yang berbeda dibanding kematian dengan penyebab lainnya.
Mulai dari penerimaan akan kematian mendadak, berusaha memahami alasan tindakan tersebut, dan duka yang tentunya mendalam. Sampai akhirnya, berusaha untuk memulai kehidupan baru tanpa orang yang dikasihi. Banyak aspek kehidupan yang terguncang setelah kejadian yang buruk ini.
Menurut Cerel, et al (2008), dampak peristiwa ini tidak hanya secara langsung pada anggota keluarga inti, yaitu orang tua, anak, dan pasangan. Reaksi di antara mereka juga memberi pengaruh satu sama lain.
Sayangnya, kematian korban serta alasan tindakannya yang biasanya menjadi fokus perhatian. Gejolak yang dialami oleh keluarga, baik sebelum maupun sesudah kematian, kerap kurang mendapat perhatian.
Apa Dampak Bunuh diri pada Keluarga?
Berikut ini adalah beberapa imbas negatif yang dialami oleh keluarga dari individu yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya:
1. Duka Mendalam
Keluarga korban dapat mengalami kesedihan mendalam dan berkepanjangan akibat peristiwa ini. Levi-Belz, et al (2022) membenarkan hal tersebut. Menurutnya, kehilangan keluarga karena bunuh diri menimbulkan duka sekaligus tekanan emosional.
Beberapa anggota keluarga melaporkan mengalami kesedihan berkepanjangan hingga mengganggu fungsi diri secara signifikan. Duka kesedihan ini antara lain adalah terkait rasa rindu pada korban dan ingatan tentangnya.
Levi-Belz, et al (2022) juga menyebutkan bahwa kesedihan mendalam ini membuat seseorang merasa sebagian dirinya hilang. Hal ini disebabkan karena kesulitan untuk menerima peristiwa kematian tersebut.
2. Stigma Masyarakat
Situasi sulit berikutnya adalah bahwa keluarga harus berhadapan dengan stigma masyarakat baik dari sudut pandang budaya maupun agama (Flynn, et l, 2008).
Hal ini antara lain adalah adanya perasaan ditolak oleh masyarakat, dikucilkan, kurangnya dukungan, hingga merasa disalahkan. Stigma yang lebih buruk juga dapat timbul, misalnya terkait harta korban.
Stigma semacam ini butuh waktu tidak sebentar untuk mereda. Kondisi ini tentu merugikan proses pemulihan dampak bunuh diri yang dialami oleh keluarga.
Strategi mengatasi stigma sosial terhadap keluarga yang mengalami bunuh diri diperlukan apabila dampaknya terlalu mengganggu. Keluarga dapat melakukan konseling secara pribadi dengan profesional. Ini juga bisa dilakukan bersama-sama dengan anggota keluarga yang lain.
3. Perasaan Bersalah
Keluarga korban bunuh diri kemungkinan besar bergumul dengan perasaan bersalah. Mulai dari rasa bersalah karena tidak menyadari kondisi sulit yang dialami oleh korban hingga rasa bersalah akibat gagal melakukan pencegahan.
Peristiwa meninggalnya orang yang dikasihi membuat kondisi menjadi sangat buruk seolah tidak dapat diperbaiki. Levi-Belz, et al (2022) menyebutkan bahwa rasa bersalah menjadi beban yang signifikan bagi orang dekat korban.
Pada sisi yang lain, juga ada kemungkinan timbulnya tindakan saling menyalahkan. Misalnya menyalahkan anggota keluarga lain yang dianggap sebagai penyebab, atau orang yang semestinya dapat mencegah. Ini tentu dapat memicu konflik baru.
Tak menutup kemungkinan juga, keluarga dapat menyalahkan masyarakat. Misalnya jika korban menerima tekanan tertentu dari masyarakat atau lingkungan sosialnya sebelum melakukan bunuh diri.

4. Masalah Emosional
Dampak bunuh diri berikutnya pada anggota keluarga adalah memicu timbulnya masalah emosional. Seorang responden penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Abraham, et al (2021) membuktikan hal ini. Responden tersebut menerima perawatan psikiatri untuk mengelola emosinya karena ia menemukan saudara kandungnya mencoba bunuh diri.
Secara terperinci, Abraham, et al (2021) menyebutkan tentang beberapa masalah ketidakstabilan emosi yang dialami oleh keluarga. Antara lain adalah keputusasaan, mudah marah, depresiasi diri, kecemasan hingga depresi, dan disforia.
Disforia adalah kondisi ketidaknyamanan yang mendalam secara psikologis. Hal ini termasuk dalam kategori trauma keluarga akibat bunuh diri. Sedangkan Flynn, et al (2008) juga menyinggung soal kemarahan pada mendiang yang menjadi penyebab masalah emosional.
5. Pikiran untuk Bunuh Diri
Abraham, et al (2021) mengatakan bahwa individu yang terpapar peristiwa bunuh diri dalam keluarganya berisiko mengalami rasa sakit psikologi yang ekstrem. Hal ini membuatnya memiliki potensi yang lebih tinggi untuk melakukan hal serupa.
Penelitian tersebut mengatakan bahwa pengalaman buruk berhadapan dengan kasus bunuh diri membuka gagasan atau ide terkait hal itu. Ini berlaku baik bagi keluarga maupun kerabat dekat lain seperti teman dari korban.
Lebih terperinci lagi, keluarga sebagai penyintas dapat merasa bahwa keputusan mengakhiri hidup adalah pilihan yang realistis. Ada juga responden penelitian tersebut yang mengatakan bahwa hidup menjadi tidak berharga lagi setelah kematian mendiang. Ini yang kemudian mendorong timbulnya ide tersebut.
Walau demikian, menyadari dampak buruknya pada orang terkasih, beberapa orang mengatakan bahwa tidak akan melakukan bunuh diri.
6. Tidak Berjalannya Fungsi Keluarga
Cerel, et al (2008) mencatat bahwa dampak bunuh diri secara signifikan mempengaruhi fungsi dalam keluarga. Salah satunya adalah timbulnya kesulitan mempertahankan ikatan emosional antara anggota keluarga yang ditinggalkan.
Penyebabnya antara lain adalah karena adanya perbedaan komunikasi setelah kejadian tersebut. Kebutuhan akan dukungan hingga rasa bersalah dan saling menyalahkan juga berpengaruh.
Sedangkan hal lainnya adalah berkaitan dengan struktur keluarga. Kehilangan dan kedukaan dapat membuat anggota keluarga tidak menjalankan fungsinya. Seperti telah disebutkan sebelumnya, kesedihan mendalam dapat mempengaruhi fungsi diri seseorang.
Sebagai contoh seorang istri yang berduka karena kehilangan suaminya. Dengan demikian peran kosong adalah ayah yang meninggal dan ibu yang mengalami duka. Hal ini tentu situasi yang sangat buruk untuk anak-anak mereka.
7. Peningkatan Risiko Penggunaan Zat
Abraham, et al (2021) mengatakan bahwa kerabat dari korban bunuh diri lebih beresiko untuk mengembangkan gangguan penyalahgunaan zat.
Hal ini dapat diawali dengan permasalahan psikologis dan gangguan lain. Misalnya seperti perasaan bersalah, malu, kecemasan, hingga depresi. Kondisi ini dapat mendorong individu mengkonsumsi zat tertentu. Apabila tidak terkendali, risikonya adalah adiksi atau kecanduan.
Meminimalkan Dampak Bunuh Diri pada Keluarga
Peristiwa bunuh diri tidak hanya buruk bagi korban, namun juga bagi keluarga yang ditinggalkan. Anggota keluarga korban menjadi rentan terhadap berbagai permasalahan psikologis, bahkan berisiko memiliki pemikiran tentang bunuh diri. Orang yang dekat dengan korban, seperti teman, juga bisa mengalami berbagai efek negatif tersebut. Ini menunjukkan bahwa tidak hanya keluarga, kejadian bunuh diri berdampak pada lingkungan sosial juga. Konseling, pendampingan, hingga terapi oleh profesional dapat dilakukan untuk meminimalkan dampak bunuh diri pada keluarga sebagai penyintas.
Anggota keluarga korban menjadi rentan terhadap berbagai permasalahan psikologis, bahkan berisiko memiliki pemikiran tentang bunuh diri.
Referensi
Abraham, Samuel P, et al (2021) The Impact of Suicide on Family Functioning. International Journal of Science and Research Methodology (IJSRM). Vol.:20, Issue:2.
Cerel, Julie, et al (2008) The Impact of Suicide on The Family. Crisis, Vol. 29(I):38-44. Hogrefe & Huber Publishers. DOI 10.1027/0227-5910.29.1.38.
Flynn, Louise, et al (2008) Family Issue in Suicide Postbention. ARFC Briefing, Australian Family Relationship Clearinghouse. ISSN 1834-2434.
Levi-Belz, Yossi, et al (2022) Prolonged Grief Symptoms among Suicide-Loss Survivors: The Contribution of Intrapersonal and Interpersonal Characteristics. International Journal of Environmental Research and Public Health, Sept; 19(17): 10545. doi: 10.3390/ijerph191710545.
*This article is reviewed by Ganda M. Y. Simatupang, M. Psi., Psikolog