Sub Topik
Bullying di Sekolah

Dampak bullying bisa sangat membahayakan. Beberapa waktu lalu seorang siswa sekolah dasar di Banyuwangi memutuskan mengakhiri hidupnya. Diduga karena ia menjadi korban bullying di sekolah. Hal ini sangat memprihatinkan mengingat para siswa tersebut masih berada pada kelompok usia anak-anak.
Definisi Bullying
Di antara banyak definisi tentang bullying, definisi dari Olweus (dalam Shute & Slee, 2021; Peguero & Hong, 2020) adalah yang paling sering digunakan. Bullying didefinisikan sebagai:
- Adanya agresi,
- Terjadi secara berulang,
- Dilakukan secara sengaja,
- Bersifat melukai secara fisik (misal memukul, menendang, mendorong) atau secara psikologis (misal menyebarkan rumor buruk ),
- Dilakukan oleh seseorang atau kelompok yang memiliki kekuasaan atau kekuatan lebih daripada korban.
Bullying vs Bercanda
Munculnya bullying menunjukkan adanya interaksi sosial yang negatif antar teman. Dengan dalih hanya bercanda, anak seringkali sudah melakukan bullying. Penelitian Skrzypiec & Wyra (2019) menunjukkan bahwa siswa masih belum dapat membedakan antara bullying dan bercanda. Padahal bullying yang terjadi berulang kali di sekolah dapat menyebabkan efek jangka pendek maupun jangka panjang.
Bullying yang terjadi berulang kali di sekolah dapat menyebabkan efek jangka pendek maupun jangka panjang.
Bagaimana Bullying dapat Menghambat Perkembangan Anak?
Perkembangan karakter anak dipengaruhi oleh lingkungan sosial. Respon yang didapat dari interaksi sosial dapat membentuk perkembangannya. Menjadi korban bullying dapat menyebabkan hambatan pada perkembangan anak.
Efek bullying di sekolah pada anak-anak
Salah satu dampak negatif bullying berkenaan dengan gangguan psikologis dan terganggunya proses neurobiologis pada anak. Ketika sekolah menjadi tempat yang tidak aman, kesehatan mental anak dapat memburuk.
Salah satu dampak negatif bullying berkenaan dengan gangguan psikologis dan terganggunya proses neurobiologis pada anak.
Memburuknya Kesehatan Mental Anak
Kewaspadaan tentang bullying yang tidak dapat diprediksi juga dapat menyebabkan anak mengalami kecemasan. Kecemasan diikuti dengan adrenalin yang meningkat membuat anak terlalu mencermati lingkungan dan akhirnya berpikir berlebihan tentang bullying.
Anak yang mengalami bullying sangat mungkin menggeneralisasi semua orang adalah pelaku perundungan sehingga akhirnya merasa stres. Ia akan merasa tidak aman, memiliki kepercayaan diri yang rendah, self-image yang negatif, dan depresi yang tinggi. Mereka juga akan cenderung menarik diri dari lingkungan sosial sehingga dapat mengalami kesepian (loneliness).
Bullying Dapat Menyebabkan Trauma
Bullying bisa terjadi kapan saja dan tidak dapat ditebak. Bullying verbal dan fisik juga dapat terjadi berulang kali, hari demi hari. Hal ini menyebabkan anak memiliki kewaspadaan yang tinggi karena sewaktu-waktu mungkin mengalami bullying lagi. Pada akhirnya, kewaspadaan yang tinggi akan diikuti dengan pengalaman traumatik.
Bullying Dapat Menimbulkan Persepsi Negatif tentang Sekolah
Bullying yang terjadi dalam konteks sekolah dapat membuat korban memiliki persepsi negatif terhadap sekolah. Hal ini menyebabkan korban enggan berangkat sekolah hingga menolak pergi ke sekolah. Mereka juga lebih besar kemungkinan mengalami kesulitan dalam beradaptasi dengan sekolah sehingga prestasi akademiknya lebih rendah dari anak yang tidak terlibat bullying.
Dampak Bullying pada Fisik Anak
Bullying fisik lebih sering dilakukan anak laki-laki daripada perempuan. Tidak menutup kemungkinan anak perempuan juga melakukan bullying fisik. Dampak bullying fisik yang paling tampak adalah luka fisik. Namun efek bullying fisik bisa jadi tidak hanya yang tampak. Ketika anak mengalami bullying, ia dapat mengalami stres. Stres yang kronis dapat berdampak pada masalah fisik, seperti sakit kepala, masalah tidur, dan penurunan konsentrasi serta memori.
Dampak Bullying pada Sosial Anak
Manusia diprogram menjadi makhluk sosial dan memiliki keinginan untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Menjadi bagian dalam kelompok dapat membuat kita merasa dilindungi dan didukung. Bullying sosial yang mengucilkan seseorang, misalnya dengan tidak mau satu kelompok mengerjakan tugas atau tidak mau mengajak anak bermain, dapat menyebabkan sakit di dalam hati.
Hubungan Sosial yang Buruk
Bullying dapat membuat anak menghindari hubungan sosial dan semakin berdampak pada hubungan yang negatif secara keseluruhan. Korban bullying dapat menginternalisasi pesan yang mereka dapat dari bullying bahwa mereka tidak diinginkan, tidak diterima, tidak dicintai dan ditolak oleh orang lain. Rasa sakit yang sama dari penolakan sosial akan terekam dalam bagian otak yang sama dengan sakit fisik.
Sulit Menjalin Relasi Sosial
Terkadang pemikiran korban tentang bullying membuatnya ingin pindah atau keluar dari konteks sosial tempat dirundung. Misalnya, anak-anak dipindahkan dari sekolah yang lama ke sekolah lain. Namun sebenarnya hal ini tidak terlalu membantu bila korban sudah menginternalisasi pemikiran tidak diterima dan ditolak oleh lingkungan. Di lingkungan yang baru, ia mungkin masih memiliki pemikiran tersebut dan kesulitan menjalin hubungan yang positif.
Bullying di Masa Remaja
Pada remaja, kebutuhan menjadi bagian dari kelompok meningkat dibandingkan ketika anak-anak. Studi eksperimen tentang pengaruh pengucilan pada remaja dan dewasa (Sebastian, et.al, 2011) menunjukkan bahwa otak remaja belum mahir untuk menangani penolakan sosial sebagaimana otak dewasa. Hal ini menggarisbawahi kemungkinan mengapa bullying secara sosial lebih berpengaruh pada remaja.
Bagaimana Bullying Mempengaruhi Masa Depan?
Individu yang menjadi korban bullying pada masa anak-anak dapat tetap mengalami dampaknya pada masa remaja. Beberapa dampak bullying pada masa remaja adalah sebagai berikut:
Mempengaruhi Kegiatan Akademik
Pada remaja, pengucilan bisa jadi tidak berkaitan langsung dengan prestasi akademik. Pengucilan bisa menjadi salah satu penyebab anak enggan terlibat hubungan sosial di sekolah. Misalnya, ia menjadi lebih berhati-hati dengan orang baru, sulit mempercayai orang lain, dan menarik diri. Akhirnya ia enggan terlibat kegiatan sekolah dan akademik.
Berkaitan dengan Kekerasan dalam Pacaran
Bullying di masa anak-anak juga dapat berkaitan dengan kekerasan dalam pacaran pada remaja. Anak yang melakukan bullying lebih besar kemungkinan melakukan kekerasan dalam pacaran saat remaja (Foshee et al., 2014).
Berpotensi Menjadi Pelaku
Dipermalukan di depan umum sebagai bentuk bullying akan melukai harga diri remaja. Perasaan tidak dihargai atau dianggap ada dalam lingkungan akan dapat menimbulkan kemarahan yang intens. Kemarahan yang terinternalisasi dapat menyebabkan depresi. Namun kemarahan yang tereksternalisasi dapat menyebabkan pembalasan. Hal ini menjelaskan bagaimana remaja yang tadinya mungkin adalah korban bullying di masa anak-anak, dapat menjadi pelaku bullying di masa remajanya.
Bullying di Masa Remaja dan Dampaknya pada Masa Dewasa
Remaja yang menjadi korban bullying dapat menjadi terluka dan menarik diri di sekolah. Pada situasi ekstrem, hal ini menjelaskan bagaimana rasa sakit secara psikologis memicu orang dewasa untuk bunuh diri atau membuat rencana balas dendam, misalnya tragedi penembakan di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa dampak bullying terus ada hingga masa dewasa.
Selain korban, pelaku bullying tidak lepas dari dampak bullying. Pelaku bullying selalu bersalah dalam melakukan bullying, namun alasan mereka melakukan bullying juga perlu diketahui. Studi menemukan bahwa remaja yang didiagnosis memiliki masalah kesehatan mental secara signifikan lebih mungkin melakukan bullying dibandingkan remaja tanpa diagnosis masalah kesehatan mental.
Sebelum melakukan bullying, kemungkinan pelaku mengalami kesulitan dengan dirinya sendiri dan membutuhkan bantuan. Pelaku bullying kemungkinan adalah korban dari kekerasan dalam rumah tangga atau komunitas. Pelaku bullying mungkin mengembangkan perilaku bullying karena memiliki self-esteem yang rendah, sehingga bullying adalah cara untuk meningkatkan harga dirinya.
Pelaku yang juga korban dari kekerasan dalam rumah tangga atau komunitas kemudian mengembangkan perilaku bullying sebagai cara melampiaskan emosi negatifnya. Atau ia melakukan itu untuk mengatasi perasaan tidak berdaya sebagai korban dari kekerasan yang lain. Dengan melakukan bullying, ia merasa lebih berkuasa.
Pada jangka panjang, perasaan berkuasa yang menyenangkan sebagai hasil melakukan bullying dapat membuat pelaku mempertahankan perilaku bermasalah hingga dewasa. Mereka hanya memindahkan bullying menjadi kekerasan dari satu konteks sosial ke konteks sosial lainnya.

Dampak Bullying pada Perkembangan Anak Berlanjut Hingga Dewasa
Anak yang terlibat bullying besar kemungkinan akan mengalami dampaknya pada fase perkembangan berikutnya, yaitu masa remaja hingga dewasa. Bullying dapat berdampak pada banyak hal termasuk fisik, sosial dan psikologi. Mengingat besarnya dampak bullying pada perkembangan anak, penting bagi setiap pihak untuk berperan aktif dalam mencegah dan menghentikan bullying.
Referensi
Foshee, V. A., McNaughton Reyes, Heath Luz, Ph.D., M.P.H, Vivolo-Kantor, Alana M., M.P.H, Basile, K. C., Chang, Ling-Yin, M.S, Faris, R., & Ennett, S. T. (2014). Bullying as a Longitudinal Predictor of Adolescent Dating Violence. Journal of Adolescent Health, 55(3), 439–444. https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2014.03.004
Sebastian, C. L., Tan, G. C. Y., Roiser, J. P., Viding, E., Dumontheil, I., & Blakemore, S. (2011). Developmental influences on the neural bases of responses to social rejection: Implications of social neuroscience for education. Neuroimage, 51(3), 686–694.
Shute, Rosalyn H, Slee, Phillip T., & Shute, Rosalyn H. (2021). School bullying and marginalisation harmonising paradigms. Springer.
Skrzypiec, G., & Wyra, M. (2019). ‘I wish you were murdered’: Some students don’t know the difference between bullying and banter. The Conversation, 14 October.2019.
Smokowski, P. R., & Evans, C. B. R. (2019). Bullying and victimization across the lifespan : playground politics and power. Springer.
Peguero, A. A., & Hong, J. S. (2020). School bullying : youth vulnerability, marginalization, and victimization. Springer.
*This article is reviewed by Ganda M. Y. Simatupang, M. Psi., Psikolog