Sub Topik

Bullying sering terjadi di sekolah. Penting untuk melihat bullying di sekolah tidak hanya dari satu sisi. Perilaku bullying tidak sesederhana hubungan pelaku – korban saja. Perilaku bullying memiliki faktor multi-level.
Bullying tidak bisa hanya dilihat dari hubungan interpersonal, namun juga terkait dengan lingkungan sosial seperti sekolah, komunitas, dan masyarakat secara luas. Termasuk faktor di dalamnya adalah status sosial-ekonomi, religi, dan budaya masyarakat.
Bullying tidak bisa hanya dilihat dari hubungan interpersonal, namun juga terkait dengan lingkungan sosial seperti sekolah, komunitas, dan masyarakat secara luas.
Apa Saja Bentuk Bullying di Sekolah
Secara umum bullying dibedakan menjadi bullying fisik, verbal dan sosial. Bullying overt atau perundungan secara terbuka biasanya meliputi bullying fisik dan verbal. Bullying tidak langsung meliputi bullying sosial atau relational bullying. Namun demikian, bullying verbal dan sosial seringkali sulit dibedakan karena saling menyertai satu sama lain.
Perilaku bullying fisik biasanya menurun seiring dengan usia, namun bullying verbal dan sosial tidak. Akibatnya, banyak ditemukan penurunan bullying fisik di sekolah seiring bertambahnya usia, namun bullying verbal dan sosial malah meningkat.
Bullying Fisik
Bullying fisik di sekolah dapat berupa memukul, mendorong, atau hal lain yang bisa menyebabkan orang lain celaka. Hal kecil semacam menyilangkan kaki ketika teman lewat, bisa jadi contoh bullying di sekolah ketika dilakukan berulang-ulang dengan sengaja. Bullying fisik sering disertai dengan bullying verbal dan sosial, misalnya setelah teman jatuh karena tersandung kaki yang disilangkan, pelaku bullying akan menertawakannya.
Siswa laki-laki lebih sering terlibat dalam bullying fisik daripada siswa perempuan. Siswa dengan disabilitas lebih sering menjadi korban bullying fisik daripada non-disabilitas. Di sisi lain, siswa dengan disabilitas lebih mengembangkan perilaku agresif untuk membalas bullying fisik yang diterimanya.
Bullying Verbal
Bullying verbal dan sosial seringkali dilakukan oleh siswa perempuan. Perilaku yang termasuk bullying verbal di antaranya adalah memanggil dengan nama panggilan yang tidak disukai korban, mempermalukan korban di depan umum secara verbal, dan menirukan karakteristik tertentu dari korban. Misalnya menirukan cara berjalan siswa tunadaksa, atau berpura-pura menggunakan bahasa isyarat untuk mengejek siswa tuli. Mengejek dengan kata-kata yang tidak pantas dan mengancam juga termasuk dalam bullying verbal.
Bullying Sosial
Perilaku yang termasuk bullying sosial misalnya mengucilkan korban dan menyebarkan gosip atau rumor. Pada siswa remaja, reputasi adalah hal yang penting. Gosip atau rumor adalah salah satu hal yang dianggap bisa menjatuhkan reputasi seseorang dalam lingkungan sosial.
Gosip sebagai Alat untuk Melakukan Bullying
Gosip juga dapat mempengaruhi konsep diri, kepercayaan diri, dan rasa berharga. Itu sebabnya gosip dapat digunakan sebagai alat dalam bullying sosial. Pelaku dapat menyebarkan gosip atau berita yang tidak benar tentang korban di sekolah sehingga mempengaruhi kesejahteraan psikologis korban.
Stigma dan Kerentanan terhadap Bullying
Stigma dapat menjadi salah satu faktor terjadinya bullying verbal dan sosial. Seseorang yang telah ditandai menjadi bagian kelompok tertentu, rentan menjadi korban bullying. Di satu daerah mungkin berkaitan dengan etnis atau agama tertentu.
Stigma tentang karakteristik tertentu juga rentan menjadikan seseorang menjadi korban bullying. Misalnya kepercayaan yang beredar bahwa gemuk itu jelek. Ini membuat siswa yang bertubuh gemuk rentan untuk menjadi sasaran bullying teman-temannya.
Program Anti Bullying di Sekolah (STOP Bullying di Sekolah)
Di U.S. dan Eropa terdapat berbagai program antibullying , baik yang berbasis sekolah maupun masyarakat. Banyak program mengklaim bisa menurunkan perilaku bullying secara signifikan. Sekolah harus memastikan mana program yang terbaik bagi mereka.
Cara mengatasi bullying di sekolah yang berhasil biasanya berisi 3 hal dasar (Ansary et al., 2015):
- Nilai-nilai dan filosofi utama program ini menekankan iklim dan strategi sekolah yang positif pada perkembangan sosio-emosional dan karakter
- Komitmen jangka panjang dalam mengimplementasikan program, ada asesmen terhadap efektivitas program dan keberlanjutan
- Strategi yang jelas dan konsisten dalam penanganan ketika bullying terjadi.
Peran Lingkungan Sekolah
Sekolah memiliki peran penting dalam menyelenggarakan program antibullying. Tips mengatasi perundungan (bullying) di sekolah adalah sebagai berikut:
Pemberian Pengetahuan Dasar tentang Bullying pada Civitas Sekolah
Siswa, guru, dan staf harus memiliki pengetahuan dasar tentang definisi bullying. Pengetahuan ini penting untuk memilih perilaku yang masuk dalam kategori bullying dan bukan. Hal ini akan mempermudah untuk menindaklanjuti ketika perilaku dicurigai sebagai bullying. Sekolah dapat memasukkan program antibullying dalam kurikulum sebagai salah satu program pencegahan.
Membangun Iklim yang Positif di Sekolah
Iklim yang positif di sekolah harus terbangun. Siswa harus mengetahui norma dan nilai yang dimiliki sekolah sehingga mereka merasa aman dan nyaman serta dihargai di sekolah. Sekolah yang dirasa aman bagi siswa akan membuat siswa lebih terikat dengan sekolah.
Iklim positif memiliki hubungan dengan rendahnya agresi dan kekerasan. Ketika siswa memiliki karakter dan perkembangan sosial-emosional yang baik, mereka akan lebih menghargai orang lain dan menjaga nilai dan norma yang dimiliki sekolah. Iklim yang positif di sekolah dapat menangkal efek negatif dari perilaku menyimpang, bahkan ketika keluarga dan lingkungan sosial tidak dapat memberikan dampak positif.
Membangun Kerjasama dengan Orangtua Siswa
Sesuai kerangka social-ecological, sekolah tentu tidak bisa bergerak sendiri. Dibutuhkan kerjasama antara sekolah dan keluarga/orangtua untuk mengatasi bullying. Siswa berada di lingkungan sekolah sekitar 6 – 8 jam sehari. Waktu selebihnya siswa lebih banyak bersama keluarga/orangtua.
Dibutuhkan kerjasama antara sekolah dan keluarga/orangtua untuk mengatasi bullying.
Sekolah dapat memanfaatkan hubungan sekolah dan orangtua untuk mencegah maupun menindaklanjuti bullying di sekolah. Misalnya, sekolah dapat mengirim selebaran berisi informasi tentang bullying, mengkampanyekan program antibullying ketika ada pertemuan orangtua di sekolah, dan mengaktifkan media sosial sekolah yang lain untuk meningkatkan kewaspadaan tentang bullying.
Mengadakan Pengawasan terhadap Lingkungan Sekolah
Dalam mencegah bullying, sekolah dapat melakukan pengawasan menyeluruh terhadap lingkungan sekolah. Ruang kelas, lapangan, gerbang keluar masuk, toilet dan acara-acara sekolah harus dalam pengawasan karena bullying dapat terjadi di mana saja. Pengawasan juga dapat dilakukan kapan saja, dapat secara bergantian atau memiliki petugas khusus.
Memiliki Kebijakan yang Jelas tentang Pencegahan dan Penanganan Bullying
Dalam penanganan bullying, sekolah harus memiliki kebijakan yang transparan, tegas dan konsisten. Hal ini penting agar anak merasa terlindungi ketika di sekolah. Sanksi yang jelas bagi pelaku juga termasuk hal yang perlu dilakukan sekolah.
Prinsip sanksi bagi pelaku sebaiknya menghindari mempermalukan pelaku dan menyalahkan pelaku. Konsep bahwa pelaku bertanggung jawab terhadap perilakunya dengan cara berefleksi dan memberi kesempatan berubah, dianggap salah satu cara yang efektif (Pikas dalam Ansary et a.l, 2015). Selain itu adanya intervensi, misalnya pelatihan perilaku (social and behavioral skill training), juga bisa dilakukan. Ini berlaku baik untuk pelaku maupun korban.
Peran Guru, Staf, dan Konselor Sekolah
Guru dan staf sekolah yang memiliki kompetensi sosial dan emosional yang baik akan mampu mengembangkan interaksi yang baik dengan siswa. Guru seringkali dianggap oleh siswa sebagai pihak yang tidak bisa dipercaya menangani bullying. Hal ini karena guru dianggap menganggap remeh bullying dan tidak bisa melindungi korban.
Siswa yang merasa dihargai dan aman, akan lebih kecil kemungkinan terlibat dalam bullying. Walaupun tidak semua guru memiliki kompetensi sosial yang baik, namun hal ini bisa dilatih. Smith dan Shu (dalam Ansary et al., 2015) menyebutkan bahwa guru yang dilatih dengan baik untuk mengatasi bullying secara efektif dan memahami aturan sekolah tentang bullying, dapat menurunkan level bullying. Sebaliknya guru yang memiliki konflik tinggi dengan siswa dapat lebih meningkatkan munculnya masalah perilaku di sekolah.
Peran Bystander
Bystander atau saksi bullying saat ini menjadi peran sentral yang banyak dibidik oleh program antibullying. Perilaku bullying dapat menjadi lebih kuat bila lingkungan mendukung. Misalnya saat teman menyaksikan bullying malah bersorak atau ikut menertawakan.
Bystander bisa juga bisa memperkuat bullying secara tidak langsung misalnya dengan pergi begitu saja dan bersikap acuh tak acuh saat bullying terjadi. Lama kelamaan, bullying dapat menjadi “budaya” yang diterima dan normatif dalam kelompok.
Saat sekolah memiliki nilai, norma, dan aturan yang jelas tentang bullying, siswa yang menjadi bystander atau saksi bullying tidak dibenarkan untuk tinggal diam. Bystander diajak untuk lebih mau bersikap positif. Misalnya mencegah bullying terjadi lebih lanjut, membela korban, dan melapor pada orang dewasa. Program antibullying harus juga menyasar bystander agar lebih berani bersikap saat ada bullying di sekitar mereka.

Mengatasi Bullying di Sekolah
Berbagai bentuk bullying terjadi di sekolah, seperti fisik, verbal, dan sosial atau relasional. Penyebabnya tidak hanya sebatas hubungan antara pelaku dan korban, namun melibatkan banyak hal. Karena penyebab bullying di sekolah melibatkan berbagai faktor, maka untuk menghentikan dan mencegahnya juga harus melibatkan berbagai pihak, seperti sekolah, keluarga, dan komunitas.
Program antibullying yang paling efektif adalah program yang menyeluruh, meliputi kurikulum pelatihan keterampilan sosial untuk siswa, pelatihan guru, strategi penyelesaian konflik, dan adanya peraturan yang jelas tentang bullying di sekolah.
Referensi
Ansary, N. S., Elias, M. J., Greene, M. B., & Green, S. (2015). Best practices to address (or reduce) Bullying in schools. Phi Delta Kappan, 97(2), 30–35. https://doi.org/10.1177/0031721715610088
Shute, Rosalyn H, Slee, Phillip T., & Shute, Rosalyn H. (2021). School bullying and marginalisation harmonising paradigms. Springer.
Swearer, S. M., Espelage, D. L., Vaillancourt, T., & Hymel, S. (2010). What Can Be Done About School Bullying? Linking Research to Educational Practice. Educational Researcher, 39(1), 38–47. https://doi.org/10.3102/0013189X09357622
*This article is reviewed by Ganda M. Y. Simatupang, M. Psi., Psikolog