Sub Topik
Kata autisme tidak asing di telinga, namun sepertinya asing di pikiran. Banyak orang yang masih bingung dengan istilah ini meskipun sudah sering didengar. Bahkan tidak sedikit orang yang minim informasi mengenai autisme tersebut.
Apakah Sebenarnya Gangguan Autisme Itu?

Autisme itu sendiri merupakan gangguan perkembangan saraf di dalam otak, terutama di bagian frontal atau depan, dan posterior atau belakang. Terjadi juga perubahan kortikal pada lobus frontal dan temporal. Kedua lobus ini cukup berperan dalam memproses bahasa, informasi dan emosi. Sebagai akibatnya, orang yang mengalami autisme akan memiliki masalah dalam berkomunikasi dan bersosialisasi.
Mereka kesulitan dalam berbahasa dan memahami ucapan orang lain. Mereka juga kurang mampu memaknai bahasa tubuh dan bahasa nonverbal lainnya, seperti ekspresi wajah. Tidak heran jika mereka cenderung menarik diri dari orang-orang di sekitarnya.
Penyebab terjadinya autisme belumlah diketahui dengan pasti. Faktor genetik dan lingkungan adalah dua penyebab utama yang disimpulkan para ahli sejauh ini. Lingkungan yang dimaksud adalah keadaan di sekitar individu yang mempengaruhi perkembangan otak anak, termasuk kondisi orang tua. Misalnya, usia orang tua yang sangat lanjut berpotensi melahirkan anak yang autis. Atau, si ibu pernah memiliki riwayat autoimun seperti diabetes dan tiroid. Faktor risiko lainnya antara lain terjadinya infeksi pada masa kehamilan, anak lahir prematur, lahir sesar, bayi dengan skor Apgar (hasil evaluasi dokter 1-5 menit setelah bayi lahir) rendah, dan sebagainya. Namun, tentu saja semua ini masih dalam penelitian. Seperti yang telah disampaikan di awal, penyebab terjadinya gangguan ini belum benar-benar diketahui.
Karena bersifat genetik, maka orang dengan gangguan ini telah membawanya sejak lahir. Orang tersebut juga akan mewariskannya kepada keturunannya. Gangguan ini juga bersifat menetap. Artinya, individu tersebut akan mengalaminya seumur hidup. Belum ditemukan obat dan penanganan tertentu untuk menghilangkan autisme pada seseorang. Perkembangan saraf adalah sesuatu yang rumit dan sulit ditangani. Adapun upaya yang dapat dilakukan adalah memberikan terapi dan obat-obatan untuk mengontrol perilaku yang tidak diinginkan. Namun, tentu saja tidak semua memerlukan hal ini.
Apakah Anak Autis Bisa Hidup Normal?
Berada dalam sebuah spektrum, gejala yang dialami orang-orang dengan gangguan autisme berbeda-beda. Ada yang ringan, sedang, dan berat. Bagi mereka yang berada pada level ringan, hidup seperti orang pada umumnya, atau disebut dengan normal, mungkin terjadi. Bahkan mereka bisa hidup mandiri. Hanya saja, yang mereka lakukan adalah berusaha menyesuaikan dengan lingkungan. Mereka cenderung menyembunyikan masalah yang sedang dihadapi.
Namun jika tingkat autisme yang dialami berada pada kategori sedang-berat, mereka tidak lagi dapat hidup normal. Pada tingkatan ini, mereka sudah kesulitan mengolah informasi dan merespon orang lain dengan tepat. Ada yang sampai melukai diri sendiri, dan sebagian lain mengisolasi diri. Untuk itu, berbagai terapi dan tindak lanjut dari para profesional sangat diperlukan, sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
Bagaimana Autisme Mempengaruhi Hidup Sehari-hari?
Jika melihat pada definisinya, maka autisme ini berdampak terutama pada cara berkomunikasi dan bersosialisasi. Anak dengan gangguan ini tidak dapat mempertahankan komunikasi dua arah. Oleh karena itu, mereka akan menghindari percakapan dengan orang lain.
Gerakan berulang, seperti bertepuk tangan, melompat, menggoyangkan lengan, terkadang sulit untuk mereka hindari. Ini merupakan cara mereka mengekspresikan emosi yang dirasakan, yang tidak dapat disampaikan dengan kata-kata. Hanya saja, orang lain terkadang tidak nyaman. Lalu mereka akan diminta untuk menghentikannya. Hal ini dapat membuat mereka tertekan dan merasa ditolak.
Gerakan berulang, seperti bertepuk tangan, melompat, menggoyangkan lengan, terkadang sulit untuk mereka hindari. Ini merupakan cara mereka mengekspresikan emosi yang dirasakan, yang tidak dapat disampaikan dengan kata-kata.
Dampak lain dapat dilihat pada kemampuan mengurus diri sendiri. Individu pada tingkat autisme sedang dan berat memerlukan pendampingan setiap hari. Membersihkan diri, berpakaian, dan melakukan pekerjaan rumah yang sederhana (seperti mencuci piring, menyapu lantai, merapikan kamar, dan sebagainya), harus dibantu orang lain. Terapi okupasi adalah teknik yang dapat diberikan untuk meminimalisir hal ini. Selain itu, kemampuan beradaptasi mereka juga rendah. Rutinitas yang terganggu dapat menjadi sumber kemarahan atau stress. Mereka kesulitan menerima peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba, yang membutuhkan penyesuaian.
Menginjak usia dewasa, perilaku ini akan masih ditemukan. Tantangan yang akan mereka hadapi selanjutnya adalah pekerjaan. Mereka tidak akan mampu menghidupi diri sendiri sehingga akan terus bergantung pada orang tua, atau pengasuh yang lain.
Bagaimana Cara Belajar Anak Autis?
Anak-anak dengan gangguan autisme tentu masih dapat belajar dengan baik, meskipun dengan kesulitan tertentu. Kembali lagi, tergantung pada tingkat autisme yang dimiliki. Masalah yang kerap ditemui adalah ketidakmampuan memahami penjelasan di sekolah. Fokus pada topik tertentu menjadi tantangan yang lain. Hidup dalam imajinasi sendiri membuat pikiran mereka teralihkan dengan mudah. Dan karena pada dasarnya mereka tidak begitu menyukai interaksi sosial, maka belajar di sekolah hanya akan menambah beban. Tidak memiliki teman bermain dan tidak tahu bagaimana seharusnya bermain, menjadi sumber kecemasan yang tidak mereka sukai. Ditambah lagi dengan kebingungan yang dialami ketika gagal memahami humor teman-temannya. Atau, mereka merasa lucu dengan sesuatu, namun orang lain tidak.

Meskipun demikian, belajar adalah aktivitas yang menyenangkan bagi anak-anak autis. Yang penting mereka tidak ditempatkan pada keramaian. Hal ini dapat membuat mereka frustasi. Kesabaran dari guru atau pengasuh adalah yang paling penting. Anak-anak tersebut juga sebaiknya diberi instruksi yang singkat secara berulang. Hal ini akan memudahkan mereka menangkap intisari dari pelajaran dan mengingatnya dengan baik.
Apakah Anak Autis Pintar?
Kemampuan unik juga ditemukan pada individu dengan gangguan autisme. Bahkan ada yang melampaui orang normal pada umumnya. Mereka pun patut mendapat julukan sebagai ‘si genius yang artistik’. Sebagian di antara mereka sangat bertalenta dalam bidang-bidang tertentu, seperti musik dan seni. Richard Wawro, misalnya, adalah seorang pelukis ternama asal Skotlandia yang sudah memamerkan karyanya sejak usia 17 tahun. Ia adalah seorang autis.
Kemampuan unik juga ditemukan pada individu dengan gangguan autisme. Bahkan ada yang melampaui orang normal pada umumnya.
Nama di atas tampaknya asing bagi kita. Bagaimana dengan Michelangelo? Pengukir ternama asal Italia ini memiliki talenta menakjubkan di bidang seni. Ia juga seorang pelukis, arsitek, pembuat puisi, yang juga didiagnosis sebagai seorang dengan autisme berfungsi tinggi. Terjemahan aslinya adalah high-functioning autism. Artinya, individu tersebut dapat berfungsi dengan begitu baik di tengah keterbatasan perkembangan saraf yang terjadi. Mereka tidak menunjukkan masalah intelektual. Mereka dapat berbicara, membaca, menulis, mengolah informasi, hidup mandiri, namun tetap menunjukkan gangguan dalam berinteraksi dan bersosialisasi.
Apa Gejolak Emosi Orang Autis?
Tentu saja orang-orang dengan gangguan autisme mengalami berbagai emosi. Mereka dapat merasakan sedih, marah, kecewa, takut, gelisah, terkejut, senang, dan antusias. Hanya saja, mereka tidak mampu mengenali emosi-emosi ini. Mereka juga tidak dapat menjelaskan emosi yang sedang mereka rasakan kepada orang lain. Hal ini terkadang membuat mereka sulit untuk dimengerti.
Cara mengelola emosi mereka juga berbeda-beda. Ada yang tidak mampu mengontrolnya sehingga cenderung melukai diri sendiri. Sebagian lain akan mengekspresikannya begitu saja, tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan pada orang lain. Tidak heran jika mereka dinilai kurang peka terhadap sekitar, yang memang menjadi salah satu ciri gangguan autisme itu sendiri. Perlu diingat bahwa ini hanyalah salah satu gejalanya saja. Dengan kata lain, ada juga di antara mereka yang mampu mengembangkan rasa empati dan kasih sayang terhadap orang lain.
Apakah Orang Autis Bisa Jatuh Cinta?
Bukan hanya jatuh cinta, individu dengan gangguan autisme juga dapat menikah. Ketika mereka mampu hidup mandiri dan tidak memerlukan penanganan khusus, maka menjalin hubungan romantis pun sangat mungkin terjadi. Seperti halnya manusia pada umumnya, mereka juga merasakan kebutuhan ini, yaitu memiliki pasangan hidup. Mereka tidak ingin hidup sendiri selamanya, sehingga keputusan ini adalah yang dibuat secara sadar. Mereka hanya menjalaninya dengan cara yang berbeda, yaitu dengan cara mereka sendiri.
Sebuah film dokumenter yang memotret kehidupan sesama kita yang mengalami autisme dapat dilihat di https://youtu.be/OCYjZdI0WCc. Pada menit ke 39:17, salah satu figur yang dimunculkan adalah Mike, seorang autis yang menikah. Ia begitu mencintai istrinya, dan kedua anak tirinya yang juga adalah autis. Sukses menjadi seorang ayah baginya adalah dapat memahami kondisi kedua anaknya dengan sangat baik: mengerti apa yang sedang mereka alami.
Apakah Orang Autis Bisa Hidup Normal?
Autisme adalah bagian dari keadaan manusia yang tidak dapat dihindari. Hal ini terjadi di luar batas pengetahuan manusia. Tidak ada penanganan ataupun obat untuk mengatasinya. Ini akan menjadi bagian hidup sampai selamanya. Tentu yang mengalaminya tidak perlu berkecil hati. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang memiliki hidup yang sempurna, termasuk mereka yang disebut ‘normal’.
Referensi
Hirosawa, T., Kontani, K., Fukai, M., Kameya, M., Soma, D., Hino, S., … & Kikuchi, M. (2020). Different associations between intelligence and social cognition in children with and without autism spectrum disorders. PloS one, 15(8), e0235380.
Hodges, H., Fealko, C., & Soares, N. (2020). Autism spectrum disorder: definition, epidemiology, causes, and clinical evaluation. Translational Paediatrics, 9(Suppl 1), S55.
Huws, J. C., & Jones, R. S. P. (2010). ‘They just seem to live their lives in their own little world’: Lay perceptions of autism. Disability & Society, 25(3), 331-344.
James W. Varni; O. Ivar Lovaas; Robert L. Koegel; Nancy L. Everett (1979). An analysis of observational learning in autistic and normal children. , 7(1), 31–43. doi:10.1007/bf00924508
Lord, C., Elsabbagh, M., Baird, G., & Veenstra-Vanderweele, J. (2018). Autism spectrum disorder. The Lancet, 392(10146), 508-520.
O’Brien, Gregory; Pearson, Joanne (2004). Autism and Learning Disability. Autism, 8(2), 125–140. doi:10.1177/1362361304042718
Yon-Hernández, J. A., Wojcik, D. Z., García-García, L., Franco-Martín, M. A., & Canal-Bedia, R. (2022). Differences in daily life executive functioning between people with autism and people with schizophrenia. Journal of Autism and Developmental Disorders, 1-13.
*This article is reviewed by Ganda M. Y. Simatupang, M. Psi., Psikolog