Sub Topik

Kesehatan mental tidak lagi menjadi diskusi yang asing dan tabu. Nama-nama gangguan mental seperti bipolar, depresi, atau stress sudah sering terdengar dalam percakapan sehari-hari. Hal tersebut tidak terlepas dari pengaruh media seperti TV, Youtube, media sosial, film, maupun drama. Begitu juga sekarang, sudah banyak orang berani speak up tentang kesehatan mental.
Sebutan “Gila” dan Gangguan Mental Lainnya
Meskipun literasi kesehatan mental sudah berkembang, namun masih banyak dijumpai penggunaan istilah “gila” bagi orang dengan gangguan mental. Istilah tersebut kurang tepat dan mengandung stigma negatif. Menurut KBBI, istilah “gila” memiliki banyak arti seperti sakit ingatan, sesuatu yang tidak biasa, perasaan suka berlebihan, hingga tidak masuk akal.
Selama ini stigma yang melekat pada orang gila adalah berpakaian lusuh, sering mengamuk, berbicara melantur, dan sering telanjang di depan umum. Tentu tidak tepat jika stigma tersebut disamakan dengan gejala-gejala gangguan jiwa secara keseluruhan seperti gangguan makan, gangguan kepribadian, atau gangguan tidur. Penyebab orang “gila” atau mengalami gangguan juga bisa bermacam-macam.
Apa Itu Mental Health?
Menurut World Health Organization (WHO, 2022), mental health adalah keadaan mental seseorang yang sejahtera dan memungkinkan untuk mengatasi tekanan hidup, mampu menyadari kemampuan diri, belajar, dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi pada komunitas maupun organisasi. Mental health bersifat personal dan setiap orang memiliki pengalaman berbeda-beda dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Memang, perlu usaha lebih untuk menciptakan kesehatan mental berkelanjutan dan mencegah terjadinya mental illness.
Mental health adalah keadaan mental seseorang yang sejahtera dan memungkinkan untuk mengatasi tekanan hidup, mampu menyadari kemampuan diri, belajar, dan bekerja dengan baik, serta berkontribusi pada komunitas maupun organisasi.
Apa Itu Mental Illness?
Selain kata “gila”, sebutan lain yang juga tidak kalah kasar adalah penyakit mental. Barangkali masyarakat menafsirkan arti tersebut dari kata mental illness.
Mental Illness Secara Medis
Secara medis mental illness adalah pengalaman tidak sehat yang dialami seseorang tapi belum ada diagnosia jelas. Penyebutannya juga lebih bebas, baik untuk gangguan fisik atau mental. Karena itu sangat tidak dianjurkan untuk memberi label secara sembarangan. Apalagi jika belum didiagnosisa oleh tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater.
Mental Illness dalam Antropologi Kesehatan
Sedangkan menurut antropologi kesehatan, illness merupakan suatu pandangan sakit yang berasal dari kebudayaan tertentu (Foster et al., 2006). Secara konsep illness, orang dikatakan sakit apabila tidak dapat menggunakan fungsi keseharian maupun peranan sosialnya. Sebagai contoh, perempuan yang memiliki sakit rahim disebabkan karena bermasalah dengan keluarga atau sering emosi pada orang-orang sekitar. Pandangan tersebut terbangun salah satunya karena kebudayaan Islam. Sehingga untuk penyembuhan yaitu dengan minta maaf dan bertobat kepada Tuhan.
Mental Disorder
Menurut World Health Organization (WHO, 2022), mental disorder adalah keadaan pikiran tidak normal yang ditandai dengan gangguan kognisi, regulasi emosi, atau perilaku individu. Selanjutnya mental disorder juga berkaitan dengan ketidakmampuan bersosialisasi, tekanan hidup yang tinggi, dan gangguan fungsi diri.
Menurut DSM V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition) tahun 2013, terdapat macam-macam gangguan mental yang dapat diklasifikasikan menjadi 19 kriteria, yaitu:
- Gangguan perkembangan saraf
- Skizofrenia dan gangguan psikotik
- Bipolar
- Gangguan depresi
- Gangguan kecemasan
- Gangguan obsesif-kompulsif
- Trauma dan gangguan stres
- Gangguan disosiatif
- Gangguan makan
- Gangguan tidur-bangun
- Gangguan eliminasi
- Gejala somatik
- Disforia gender
- Disfungsi seksual
- Disruptive, impulse-control, and conduct disorders
- Gangguan terkait zat dan kecanduan
- Gangguan neurokognitif
- Gangguan kepribadian
- Gangguan parafilik
Penyebab Gangguan Jiwa
Kesehatan mental terbentuk dari beberapa faktor, begitu juga dengan gangguan mental.
Berbagai Macam Faktor Penyebab Gangguan Jiwa
Mulai dari pengalaman hidup kurang menyenangkan, latar belakang keluarga sulit, penyakit otak, dan genetik. Pengalaman kurang menyenangkan atau traumatis sendiri bisa berupa bencana, pelecehan seksual, kehilangan orang dicintai, dan pengabaian. Begitu juga dengan bullying dan kekerasan, baik di sekolah atau komunitas, juga bisa menyebabkan orang memiliki masalah mental. Berbagai situasi tersebut dapat menurunkan harga diri dan kepercayaan diri individu.
Childhood Adversity
Selanjutnya World Health Organization/WHO (2021) memunculkan istilah childhood adversity sebagai faktor trauma masa lalu yang menyebabkan seseorang rentan berisiko gangguan psikosis pada masa remaja. Childhood adversity mencakup berbagai pengalaman seperti kekerasan fisik, seksual, serta pengabaian secara fisik dan emosional. Lebih lanjut, ada faktor keadaan keluarga yang disfungsi, kehilangan orang terdekat, dan menyaksikan KDRT. Kemudian juga hidup dengan anggota keluarga yang menyalahgunakan zat dan alkohol, dan anggota keluarga yang mengidap gangguan jiwa.
Psikosis dan Penyebabnya
Penelitian lain dari Cristóbal-Narváez et al., (2016) menunjukan bahwa pengabaian emosional dan disfungsi keluarga juga berisiko menyebabkan gangguan psikosis. Menurut DSM 5, psikosis menggambarkan tingkat keparahan suatu gangguan, bukan gangguan tertentu. Pasien psikotik kehilangan sebagian kontak dengan realitas, disertai gangguan psikomotorik kognitif, dan emosional. Kelompok gangguan jiwa psikosis (berat) dikategorikan menjadi tiga jenis gangguan yaitu Skizofrenia, gangguan Bipolar (Manik-depresif), dan Psikosis Akut.

Faktor Pendidikan dan Ekonomi Terhadap Kesehatan Mental
Semakin tinggi tingkat pendidikan keluarga, semakin kecil risiko untuk mengalami gangguan depresi. Orang dengan pendidikan tinggi setidaknya lebih belajar banyak hal. Salah satunya adalah cara berhubungan dengan manusia. Pendidikan tinggi juga lebih membawa mereka pada pekerjaan yang layak. Peltzer & Pengpid (2018) mengatakan bahwa kesehatan mental remaja meningkat pesat ketika pendapatan dalam keluarga juga meningkat.
Apakah Gangguan Mental Bisa Diturunkan?
Sudah sewajarnya pertanyaan ini muncul di pikiran kita. Setelah merefleksikan berbagai kejadian dan pengalaman masa lalu, mungkin kita merasa bahwa sebenarnya kita baik-baik saja. Pengalaman masa kecil bahagia, keluarga mapan, latar belakang pendidikan baik, dan juga lingkungan sosial yang mendukung. Tidak hanya merefleksikan pada diri sendiri, tapi juga pada kehidupan orang lain. Bahwa ternyata ada orang kurang beruntung di sekitar kita dan sedang mengalami gangguan mental.
Gangguan Mental yang Diturunkan
Tidak hanya datang dari luar atau lingkungan, gangguan mental diturunkan secara genetik juga dalam keluarga. Peneliti menemukan bahwa ada berbagai gangguan mental yang berhubungan dengan genetik. Contohnya seperti ASD (Autism Spectrum Disorder), ADHD (Attention-deficit hyperactivity disorder), TD (Tardive dyskinesia), OCD (Obsessive compulsive disorder), AD (adjustment disorder) dan MDD (major depressive disorder).
Peneliti menemukan bahwa ada berbagai gangguan mental yang berhubungan dengan genetik. Contohnya seperti ASD (Autism Spectrum Disorder), ADHD (Attention-deficit hyperactivity disorder), TD (Tardive dyskinesia), OCD (Obsessive compulsive disorder), AD (adjustment disorder) dan MDD (major depressive disorder).
Selanjutnya National Institute of Health di Amerika serikat telah menemukan adanya variasi genetik pada 33000 pasien dengan diagnosis skizofrenia, ASD, ADHD, gangguan bipolar, dan gangguan depresi mayor (NIH, USA, 2013). Variasi tersebut berupa CACNA1C dan CACNB2 yang mempengaruhi memori, perhatian, cara berpikir, dan emosi. Lalu apakah gangguan kejiwaan itu menurun di dalam keluarga?
Skizofrenia dan Genetika
Mari ambil skizofrenia sebagai contoh gen yang diwarisi dari keluarga sangat kuat mempengaruhi seseorang untuk mengalami gangguan skizofrenia. Semakin dekat hubungan semakin besar risiko untuk mengalami gangguan tersebut. Misalnya seperti saudara kandung, orang tua, dan saudara kembar.
Keluarga yang tidak memiliki keturunan skizofrenia memiliki prevalensi hanya 1% dari populasi. Pada kembar identic, prevalensinya adalah sebesar 44%. Selain itu, keturunan dari keluarga dengan gangguan skizofrenia memiliki kemungkinan 80% untuk berkembang menjadi gangguan atau disorder (Avramopoulos, 2018). Salah satu contoh gen yang baru ditemukan adalah CMV dan varian umum dekat dengan gen CTNNA3.
Gangguan Bipolar dan Hubungan Keluarga
Gangguan bawaan/turunan lain yaitu bipolar. Gangguan bipolar merupakan gangguan mental yang diwariskan dan diperkirakan mempengaruhi sekitar 50 juta orang di seluruh dunia. Gangguan bipolar muncul di sekitar usia 20 tahun. Biasanya diawali gejala depresi dengan episode yang parah dan lebih lama. Lalu diikuti dengan episode manik atau rasa gembira berlebihan (Connell dan Coombes, 2021). Tidak ada perbedaan gender, namun perempuan lebih berisiko untuk terkena gangguan bipolar tipe II.
Sebuah studi dari keluarga Swedia menunjukkan risiko hubungan keluarga dan gangguan bipolar (Song et al., 2015). Pada keluarga tingkat pertama seperti ayah, ibu, dan kakak kandung memiliki risiko 7.9 kali terkena gangguan bipolar. Pada tingkat kedua seperti kakek dan nenek dari pihak ayah atau ibu berisiko 3.3 kali terkena gangguan bipolar. Kemudian untuk tingkatan ketiga seperti kakak ipar berisiko 1.6 kali terkena gangguan daripada mereka yang tidak memiliki hubungan keluarga sama sekali.
Selain itu risiko keluarga bipolar juga berkorelasi dengan gangguan jiwa lainnya. Contohnya skizofrenia, depresi, kecemasan, penyalahgunaan obat, attention-deficit hyperactivity disorder (ADHD), gangguan kepribadian, dan gangguan spektrum autisme. Ditemukan juga bahwa pasien dengan 90% gangguan bipolar memiliki setidaknya satu gangguan jenis lain dan 70% gangguan bipolar memiliki dua atau tiga gangguan jenis lain (Connell dan Coombes, 2021).
Autisme dan Genetika
Selanjutnya autism spectrum disorder (ASD) yang disebabkan oleh genetik sebesar 40-80% (Rylaarsdam dan Guemez-Gamboa, 2019). Varian genetiknya juga berbeda-beda, seperti SNP, CNV, translokasi, inversi/indel, dan de novo (Havdahl et al., 2021). Anak memiliki risiko mengalami ASD sebagaimana gen yang telah diturunkan dari orang tua dan saudara. Sedangkan untuk saudara kembar, ditemukan 60% kesesuaian gen atau lebih berisiko untuk mengalami ASD.
Semakin dekat hubungan keluarga, semakin tinggi risiko mengalami autisme. ASD tanpa disabilitas intelektual lebih banyak dikaitkan dengan gangguan jiwa lainnya dibanding ASD dengan disabilitas intelektual (Rylaarsdam dan Guemez-Gamboa, 2019). Riwayat keluarga dengan gangguan mental dan neurologis juga memiliki peningkatan risiko untuk mengalami gangguan ASD.
Gangguan Mental dan Genetik
Penelitian mengenai genetik dari gangguan jiwa skizofrenia, bipolar, dan autisme terus berlanjut. Begitu juga dengan gangguan mental lain. Kesehatan mental di abad 21 sudah sewajarnya menjadi perhatian bagi individu, kelompok, dan bahkan suatu negara. Ada banyak aspek kehidupan yang menjadi faktor pendukung mental seseorang. Keluarga, lingkungan, dan pendidikan perlu dibangun dengan baik agar memiliki kesehatan mental berkelanjutan.
Referensi
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorder edition (DSM-V). Washington : American Psychiatric Publishing.
Avramopoulos, D. (2018). Recent advances in the genetics of schizophrenia. 21205. https://doi.org/10.1159/000488679
CNNIndonesia. (2021). Masalah ODGJ: 11 ribu kasus pemasungan, sesak di panti. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210827203048-20-686571/masalah-odgj-11-ribu-kasus-pemasungan-sesak-di-panti/2
Connell, K. S. O., & Coombes, B. J. (2021). Genetic contributions to bipolar disorder : current status and future directions. May.
Cristóbal-Narváez, P., Sheinbaum, T., Ballespí, S., Mitjavila, M., Myin-Germeys, I., Kwapil, T. R., & Barrantes-Vidal, N. (2016). Impact of adverse childhood experiences on psychotic-like symptoms and stress reactivity in daily life in nonclinical young adults. PLoS ONE, 11(4), 1–15. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0153557
Foster, G. M., Anderson, B. G., Suryadarma, P. P., & Swasono, M. F. H. (2006). Antropologi kesehatan. UI Press.
Hariyadi, & Rusdianah, E. (2021). Faktor keturunan dengan kejadian skizofrenia 1. Jurnal Keperawatan Jiwa (JKJ): Persatuan Perawat Nasional Indonesia, 9(3), 685–692.
Havdahl, A., Niarchou, M., Starnawska, A., Uddin, M., Van Der Merwe, C., & Warrier, V. (2021). Genetic contributions to autism spectrum disorder. Psychological Medicine, 51(13), 2260–2273. https://doi.org/10.1017/S0033291721000192.
Peltzer, K., & Pengpid, S. (2018). High prevalence of depressive symptoms in a national sample of adults in Indonesia: Childhood adversity, sociodemographic factors and health risk behaviour. Asian Journal of Psychiatry, 33(December 2017), 52–59. https://doi.org/10.1016/j.ajp.2018.03.017
Rylaarsdam, L., & Guemez-Gamboa, A. (2019). Genetic Causes and Modifiers of Autism Spectrum Disorder. Frontiers in Cellular Neuroscience, 13. https://doi.org/10.3389/fncel.2019.00385
Song, J., Bergen, S. E., Kuja-Halkola, R., Larsson, H., Landén, M., & Lichtenstein, P. (2015). Bipolar disorder and its relation to major psychiatric disorders: A family-based study in the Swedish population. Bipolar Disorders, 17(2), 184–193. https://doi.org/10.1111/bdi.12242
WHO. (2021). Injuries and violence. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/injuries-and-violence
WHO. (2022a). Mental disorders. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-disorders
WHO. (2022b). Mental health: strengthening our response. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/mental-health-strengthening-our-response
*This article is reviewed by Ganda M. Y. Simatupang, M. Psi., Psikolog