Sub Topik
Pengertian Genetik

Genetika merupakan suatu keilmuan yang mempelajari tentang gen dan keturunan, serta bagaimana kualitas atau sifat tertentu diturunkan dari orangtua kepada keturunannya. Gen dianggap sebagai komponen dasar dari pewarisan. Gen diwariskan dari orangtua kepada keturunannya untuk menentukan ciri-ciri fisik dan biologis.
Gen sendiri merupakan suatu DNA yang tersimpan di dalam kromosom. Manusia biasanya memiliki 23 pasang kromosom dalam sel mereka. Lebih lanjut, manusia diperkirakan mempunyai sekitar 20.000 gen.
Perubahan yang terjadi pada gen dapat mencegah gen berfungsi sebagaimana mestinya. Selain itu, variasi genetik dapat memengaruhi cara individu dalam merespons obat-obatan tertentu atau kemungkinan mereka terkena penyakit. Karena orang tua mewariskan gen kepada keturunannya, beberapa penyakit dapat menurun kepada anak-anak mereka.
Peran Genetika dalam Depresi
Genetik dapat berperan sebagai faktor risiko depresi. Namun, genetik tidak dapat dijadikan faktor penyebab tunggal seseorang mengalami depresi. Ada banyak faktor lain yang turut terlibat sehingga seseorang mengalami depresi. Misalnya seperti interaksi gen dengan lingkungan dan trauma.
Sebagian besar penelitian interaksi gen dan lingkungan berfokus pada gen serotonin transporter promoter polymorphism (5-HTTLPR). Gen ini diduga memiliki keterkaitan dengan peristiwa hidup yang penuh tekanan atau trauma masa kecil (Dunn et al., 2015). Peristiwa yang penuh tekanan dan sulit memang dapat menyebabkan indikasi depresi menjadi lebih parah pada setiap orang, tetapi orang dengan riwayat depresi genetik lebih rentan lagi terhadap kondisi ini.
Hasil studi milik Caspi menunjukkan bahwa individu dengan setidaknya satu alel pendek (s) (yaitu, genotipe “s/s” atau “s/l” dari versi kode biallelic) lebih rentan mengalami depresi saat menanggapi peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki alel “s”(Caspi et.al, 2003).
Perlu diketahui bahwa berbagai faktor penyebab depresi saling berkaitan. Oleh karena itu, tidak benar jika satu faktor dianggap sebagai faktor tunggal penyebab depresi.
Depression Gen
Sebuah tim peneliti di Inggris menyebutkan gen yang secara umum ditemukan pada beberapa anggota keluarga dengan depresi. Kromosom 3p25-26 ditemukan pada lebih dari 800 keluarga dengan peristiwa depresi yang berulang.
Para ahli meyakini bahwa sebanyak 40% dari orang yang mengalami depresi diduga berasal dari hubungan genetik. Sedangkan faktor lingkungan dan lainnya berperan sebanyak 60%.
Banyak peneliti percaya bahwa tidak ada gen tunggal yang membuat seseorang berisiko mengalami depresi. Kombinasi gen yang kemungkinan besar menyebabkan seseorang mengalami depresi disertai dengan faktor lainnya.
Apakah Depresi Diturunkan?
Sebuah studi di tahun 2018 telah mengidentifikasi beberapa varian genetik tertentu yang memiliki keterkaitan dengan gejala depresi. Para ilmuwan percaya bahwa semua gen dan varian genetik yang berbeda masing-masing memberikan kontribusi kecil terhadap terjadinya depresi. Lebih lanjut, gen dapat diwariskan dengan cara yang berbeda sehingga menjadi faktor lain yang dapat memengaruhi predisposisi genetik seseorang terhadap depresi.
Beberapa gangguan mental bisa diturunkan ke anak. Demikian juga dengan depresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa depresi memang menurun dalam keluarga. Seseorang yang memiliki kerabat terdekat atau keluarga yang didiagnosis gangguan depresi mayor (MDD) tiga kali lebih mungkin mengalami depresi daripada populasi umum.
Seseorang yang memiliki kerabat terdekat atau keluarga yang didiagnosis gangguan depresi mayor (MDD) tiga kali lebih mungkin mengalami depresi daripada populasi umum.
Lebih lanjut, studi kembar secara khusus telah memperkirakan bahwa sekitar 40% variasi populasi orang dengan risiko depresi disebabkan oleh variasi genetik (Dunn et al., 2015). Kembar identik (monozigot) diketahui memiliki risiko penyakit turunan yang lebih tinggi dibandingkan kembar non-identik. Dalam hal ini penyakit turunan yang dimaksud adalah depresi berat.
Selain itu, genetik menyumbang sekitar 50% sebagai faktor depresi. Sedangkan 50% lainnya tidak berkaitan dengan genetik (seperti faktor psikologis, lingkungan, dan lain-lain). Dalam beberapa kasus depresi memang diakibatkan oleh genetik. Sedangkan beberapa kasus lainnya bukan disebabkan oleh genetik.
Meskipun depresi terbukti menurun dalam keluarga, kita tidak dapat menyimpulkan bahwa penyebab utama depresi berasal dari genetik atau lingkungan saja. Masing-masing faktor penyebab saling berkaitan satu sama lain.
Apakah Depresi Berasal dari Lingkungan?
Salah satu faktor risiko yang paling signifikan dalam depresi terlepas dari faktor genetik adalah adanya peristiwa yang memicu stres (stresor). Stres kronis dan peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dapat menjadi salah satu faktor penyebab depresi.
Putusnya keterikatan atau hubungan antarpribadi seperti kehilangan orang yang dicintai, perceraian, atau perselisihan dapat meningkatkan risiko individu mengalami depresi.
Selain itu, faktor risiko lainnya bisa berupa pelecehan (seperti pelecehan fisik, emosional, dan seksual) dan trauma masa kecil (seperti penganiayaan dan penelantaran di masa anak-anak) (Lin & Tsai, 2019).
Dengan kata lain, lingkungan pun berperan sebagai faktor risiko depresi pada individu.

Peran Gen dan Lingkungan pada Depresi
Penelitian terkait interaksi gen dan lingkungan dalam depresi (Studi GxE) dimulai pada tahun 2003. Studi ini membahas tentang sejauh mana varian genetik dapat memodifikasi hubungan antara faktor lingkungan dan depresi (berlaku sebaliknya, sejauh mana faktor lingkungan dapat mengubah hubungan antara gen dan depresi).
Studi GxE mengasumsikan model “diatesis-stres” di mana gen berinteraksi dengan peristiwa kehidupan yang penuh tekanan sehingga menimbulkan depresi. Dalam model ini, gen diasumsikan memperburuk atau menahan efek stres. Studi ini juga bertujuan untuk mengetahui sejauh mana genetik dapat mempengaruhi individu saat merespons situasi dan kondisi lingkungan dengan tepat (memberikan respons negatif pada situasi negatif dan memberikan respons positif pada lingkungan yang bermanfaat).
Salah satu gen yang ditemukan berkaitan dengan studi GxE adalah gen FKBP5. Gen ini berperan penting dalam proses imunoregulasi. Selain itu, beberapa SNP (single nucleotide polymorphism) dalam Gen FKBP5 ditemukan berkaitan dengan munculnya depresi. Lebih lanjut, interaksi GxE antara gen FKBP5 dan penganiayaan di masa anak-anak dikaitkan dengan risiko berkembanganya depresi pada orang dewasa keturunan Asia Selatan.
Benarkah Depresi Diturunkan dalam Keluarga
Orang dengan depresi mungkin memiliki kekhawatiran bahwa mereka dapat menurunkan depresi kepada anak-anaknya. Meskipun mungkin ada komponen depresi disebabkan karena keturunan, gen bukanlah faktor penyebab tunggal melainkan terdapat faktor lain yang turut berkontribusi sebagai faktor risiko.
Meskipun mungkin ada komponen depresi disebabkan karena keturunan, gen bukanlah faktor penyebab tunggal melainkan terdapat faktor lain yang turut berkontribusi sebagai faktor risiko.
Seorang anak yang memiliki orangtua depresi mungkin memiliki predisposisi genetik tetapi belum tentu menjadi depresi. Faktor lain seperti faktor lingkungan pun turut terlibat.
Di sisi lain, seorang anak yang tidak mempunyai anggota keluarga dengan depresi dan tidak diturunkan dari genetik pun tidak menutup kemungkinan dapat mengalami depresi jika mengalami peristiwa yang menyebabkan trauma.
Gen Penyebab Tunggal Depresi?
Mempunyai predisposisi genetik terhadap depresi tentu dapat mempengaruhi kapan individu menjadi depresi serta berapa lama depresi berlangsung. Namun, perlu diketahui bahwa depresi dapat terjadi pada siapa saja, bahkan pada seseorang yang tidak memiliki kecenderungan genetik.
Oleh karena itu, mengidentifikasi tanda-tanda depresi dan mampu mengenalinya sangat penting untuk mendapatkan penanganan secepatnya.
Referensi
Dunn, E. C., Brown, R. C., Dai, Y., Rosand, J., Nugent, N. R., Amstadter, A. B., & Smoller, J. W. (2015). Genetic determinants of depression: Recent findings and future directions. Harvard Review of Psychiatry, 23(1), 1–18. https://doi.org/10.1097/HRP.0000000000000054
Faris, S. (2021, April 5). Is Depression Genetik or Environmental? https://www.healthline.com/health/depression/genetik
Flint, J., & Kendler, K. S. (2014). The Genetics of Major Depression. Neuron, 81(3), 484–503. https://doi.org/10.1016/J.NEURON.2014.01.027
Kohrt, B. A., Worthman, C. M., Ressler, K. J., Mercer, K. B., Upadhaya, N., Koirala, S., Nepal, M. K., Sharma, V. D., & Binder, E. B. (2015). Cross-cultural gene− environment interactions in depression, post-traumatic stress disorder, and the cortisol awakening response: FKBP5 polymorphisms and childhood trauma in South Asia. Https://Doi.Org/10.3109/09540261.2015.1020052, 27(3), 180–196. https://doi.org/10.3109/09540261.2015.1020052
Kwong, A. S. F., López-López, J. A., Hammerton, G., Manley, D., Timpson, N. J., Leckie, G., & Pearson, R. M. (2019). Genetic and Environmental Risk Factors Associated With Trajectories of Depression Symptoms From Adolescence to Young Adulthood. JAMA Network Open, 2(6), e196587–e196587. https://doi.org/10.1001/JAMANETWORKOPEN.2019.6587
Lin, E., & Tsai, S. J. (2019). Epigenetiks and Depression: An Update. Psychiatry Investigation, 16(9), 654. https://doi.org/10.30773/PI.2019.07.17.2
National Human Genome Research Institute. (2023, February 16). Gene. https://www.genome.gov/genetics-glossary/Gene
NIH. (2022). Genetics. https://nigms.nih.gov/education/fact-sheets/Pages/genetics.aspx
Schimelpfening, N. (2020, December 3). How Genetics Can Play a Role in Depression. https://www.verywellmind.com/is-depression-genetic-1067317
Wray, N. R., Ripke, S., Mattheisen, M., Trzaskowski, M., Byrne, E. M., Abdellaoui, A., Adams, M. J., Agerbo, E., Air, T. M., Andlauer, T. M. F., Bacanu, S. A., Bækvad-Hansen, M., Beekman, A. F. T., Bigdeli, T. B., Binder, E. B., Blackwood, D. R. H., Bryois, J., Buttenschøn, H. N., Bybjerg-Grauholm, J., … Sullivan, P. F. (2018). Genome-wide association analyses identify 44 risk variants and refine the genetic architecture of major depression. Nature Genetics 2018 50:5, 50(5), 668–681. https://doi.org/10.1038/s41588-018-0090-3
*This article is reviewed by Ganda M. Y. Simatupang, M. Psi., Psikolog