Sub Topik

Harapan setiap orang tua yang paling awal pada anak adalah anak lahir dalam kondisi sehat secara fisik dan mental. Namun, tidak semua anak mendapatkan anugerah tersebut. Sebagian dari mereka terlahir dengan suatu kelemahan. Salah satunya adalah anak dengan ADHD (Attention Deficit/Hyperactivity Disorder).
Apa Itu ADHD?
Pernahkah Anda melihat anak yang sering tidak fokus saat di sekolah? Sepertinya ada saja yang dia lakukan. Mulai dari mencoret-coret meja, berlari-lari dalam kelas, atau mengganggu teman. Intinya, anak itu tidak bisa diam. Perilaku tersebut jelas mengganggu konsentrasi anak lain dan orang di sekitarnya. Apa sebenarnya yang ia alami? Mari perhatikan beberapa ciri di bawah ini:
- Perilaku Hiperaktif
Menurut Taylor (1992), ADHD adalah pola perilaku hiperaktif, tidak dapat menaruh perhatian, dan impulsif. Gejala utamanya yaitu hambatan konsentrasi, pengendalian diri rendah (impulsif) dan hiperaktif. Pada gejala hiperaktivitas, anak lebih banyak melakukan gerakan motorik dibanding anak normal seusianya. Selain itu, gerakan tersebut seolah tanpa tujuan yang jelas dan tanpa rasa lelah sehingga sulit untuk ditenangkan.
- Kesulitan Mempertahankan Perhatian (inatensi)
Pada gejala inatensi, anak sering mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian (tidak bisa fokus). Setiap indera mereka merespon secara spontan terhadap stimulus dari luar sehingga mempengaruhi konsentrasi mereka. Anak dengan ADHD memang memiliki daya tahan konsentrasi yang sangat terbatas. Hal ini kemudian menghambat proses penerimaan informasi dari luar (lingkungan).
- Perilaku Impulsif
Pada gejala impulsivitas, anak melakukan tindakan yang tidak selaras dengan pikiran. Seringkali anak melakukan hal yang tidak wajar atau tidak umum. Mereka juga mengalami kesulitan menentukan prioritas saat beraktivitas karena faktor Sense atau perasaan yang mendominasi.
Tentunya tidak mudah bagi orang tua dan anak itu sendiri untuk menjalankan perannya dimana pun ia berada. Banyak anggapan, tuduhan dan menyalahkan hal-hal yang semakin memberatkan orang tua, anak bahkan keluarga anak dengan ADHD. Untuk itu, mari kita kaji lebih jauh, fakto-faktor penyebab ADHD.
Faktor Penyebab ADHD
Faktor-faktor penyebab ADHD adalah:
- Faktor Genetika dan Lingkungan
Sampai saat ini belum ada kepastian tentang faktor penyebab dari gangguan ADHD. Diduga, faktor utama penyebab ADHD adalah faktor genetika, dengan tingkat daya waris antara 60%-90%. Namun para ahli juga menyimpulkan terdapat faktor lain, seperti bahan-bahan kimia dan zat aditif makanan. Kemudian terdapat faktor kehamilan dan persalinan, serta kebiasaan merokok dan minum alkohol pada ibu hamil.
- Faktor Psikososial dan Pola Asuh
Faktor psikososial seperti stres pada kehamilan ibu juga mempengaruhi gejala ADHD pada anak nantinya. Selain itu, penggunaan teknologi informasi seperti televisi, komputer, dan gadget yang tidak tepat dapat memperburuk sindrom ADHD. Penting untuk diketahui bahwa gejala ADHD juga muncul akibat pola asuh yang salah pada anak dengan kondisi normal.
ADHD dan Autism
Apa beda anak autis dan hiperaktif? Kesalahan yang sering kita jumpai di masyarakat adalah memberikan label yang sama terhadap anak dengan autis dan hiperaktif. Apakah gejala dari hiperaktif hanya tentang pengulangan perilaku? Tentu tidak. Pengulangan perilaku lebih identik dengan anak dengan autis atau Autism Spectrum Disorder. Persamaan kedua gangguan ini ada pada penyebabnya, yaitu kerusakan pada perkembangan otak.
Perbedaan Gejala ADHD dan Autism sejak Masa Bayi
Dibutuhkan pemahaman yang dalam untuk dapat mengenali perbedaan ADHD dan autisme sejak dini. Gangguan ADHD dengan gejala hiperaktif sulit dikenali karena tidak terlalu berbeda dengan bayi lainnya. Namun secara umum, mereka menunjukkan tingkah laku lebih gelisah, pola makan dan tidur mereka berbeda dari anak pada umumnya. Selain itu, mereka sering menangis dengan sebab yang sulit diketahui orang tua.
Gangguan ADHD dengan gejala hiperaktif sulit dikenali karena tidak terlalu berbeda dengan bayi lainnya.
Pada anak autis, gejalanya dapat dilihat sejak bayi. Mereka biasanya nampak tenang, tidak pernah terjadi kontak mata maupun tersenyum pada orang lain. Gejala ini akan semakin terlihat ketika dewasa dan mengganggu interaksi sosial, komunikasi, perasaan dan emosi, serta persepsi sensori.
Kemampuan untuk Fokus pada ADHD dan Autism
Lalu apa itu hiperaktif pada ADHD? Gejala yang paling menonjol pada anak ADHD adalah gerakan yang berulang-ulang karena kesulitan untuk fokus pada satu hal saja. Mereka sering merasa gelisah sehingga melakukan berbagai gerakan, misalnya seperti memukul meja, menggeliat di kursi, atau berlarian di kelas.
Sedangkan anak autis justru mengulang-ulang sesuatu dengan fokus, seperti nama, pertanyaan, hafalan, atau objek tertentu. Mereka bisa melakukan hal yang sama setiap hari. Anak Autis juga bisa berdiam secara lama, bengong, dengan tatapan mata kosong pada benda tertentu. Sedangkan anak ADHD tidak bisa diam dalam jangka waktu yang lama.
Interaksi Sosial pada ADHD dan Autism
Perbedaan selanjutnya adalah interaksi sosial. Anak ADHD masih dapat berinteraksi secara normal, seperti mengajak berbicara dan menatap mata. Memang, dalam interaksi sosial, tingkah laku mereka cenderung mengganggu. Contohnya, mengajak berbicara guru ketika sedang berbicara di depan kelas atau mencubit teman.
Sedangkan anak autis cenderung tidak ada kontak mata dengan lawan bicara. Ekspresi wajah yang mereka tunjukkan tidak sesuai dengan perasaan, dan gerakan tubuh mereka tidak sesuai dengan pembicaraan. Mereka mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan dengan anak seusianya, dan kesulitan dalam beraktivitas yang melibatkan banyak orang. Anak autis juga menunjukan respon tidak mau dipeluk, disentuh, digendong, dan tidak mau menoleh jika dipanggil.
Fungsi Otak pada Anak dengan ADHD
Penyebab anak hiperaktif pada gangguan ADHD didominasi oleh gangguan pada Prefrontal Corteks (PFC), terutama di bagian motorik. PFC memiliki peran dalam meregulasi emosi, kebiasaan, dan kontrol perilaku. Lesi atau kelainan pada bagian PFC menyebabkan kebingungan, kesulitan berkonsentrasi, serta kesulitan mengorganisir perilaku dan pikiran.
Sedangkan gejala impulsif diakibatkan oleh gangguan pada Orbitofrontal Cortex (OFC). Ini adalah bagian dari otak yang berfungsi untuk mengendalikan emosi dan tingkah laku yang didorong oleh motivasi tertentu.
Masalah perhatian selektif ADHD adalah pemrosesan informasi yang tidak efisien pada Korteks Singulata Dorsal Anterior. Perhatian selektif adalah berkonsentrasi pada satu pengalaman diantara pengalaman yang lain. Sebagai contoh, fokus pada satu suara di antara suara-suara lain, seperti gemercik air dan ruangan bising. Sedangkan masalah dengan perhatian berkelanjutan adalah pemrosesan informasi yang tidak efisien pada Dorsolateral Prefrontal Cortex. Perhatian berkelanjutan adalah kesiapan dalam merespon hal-hal kecil yang mungkin terjadi di sekitar lingkungan mereka.
Tipe-tipe ADHD
Ada 3 tipe gangguan ADHD, yaitu tipe kurang memperhatikan (inattentive), tipe hiperaktif-impulsif, dan tipe kombinasi atau campuran.
- Tipe Inattentive
Tipe kurang memperhatikan ditandai dengan kesulitan untuk fokus pada satu hal. Penyebabnya adalah stimulus dari luar yang ditanggapi oleh indera-indera secara spontan dan mengganggu konsentrasi mereka. Contohnya, anak tidak dapat mengerjakan tugas mandiri dan tidak fokus ketika belajar di dalam kelas.
- Tipe Hiperaktif Impulsif
Individu dengan tipe hiperaktif-impulsif menunjukkan perilaku sembrono dengan alasan tidak kuat dan berperilaku tidak wajar pada umumnya. Contohnya, ketika ada layangan putus, anak ADHD akan mengambilnya meskipun berada di atap sekolah. Kemudian, anak tidak tahu cara turun ke bawah dan membuat geger warga sekolah.

- Tipe Kombinasi Campuran
Tipe ADHD kombinasi atau campuran meliputi gangguan pemusatan perhatian, hiperaktivitas, dan impulsivitas. Contohnya, anak memiliki kontrol diri yang kurang, sangat banyak gerak, dan tidak bisa berhenti bicara. Kemudian anak juga tidak mau mengantri, sering memotong pembicaraan orang lain, dan sering melanggar peraturan.
Anak ADHD dan Pendidikan
Dalam belajar, dibutuhkan konsentrasi yang tinggi agar dapat menyerap pelajaran dengan baik. Demikian juga dengan disiplin dan ketertiban, para siswa dituntut untuk tertib dan menjalan aturan di sekolah agar tercipta suasana yang kondusif untuk belajar. Lalu, bagaimana dengan anak ADHD?
Apakah Anak ADHD Bisa Sekolah Umum?
Tentu bisa, namun dengan penanganan yang berbeda. Pihak sekolah harus mendapatkan informasi yang lengkap tentang anak yang dimasukkan ke sekolah umum, hal ini bertujuan untuk dapat dijadikan acuan dalam mendidik anak dengan ADHD dengan baik serta mendapat penerimaan yang baik di lingkungan sekolah. Ada kemungkinan, gejala yang ditimbulkan anak ADHD dapat menghambat pengembangan potensi mereka dalam bidang akademik. Tidak jarang juga mereka harus dikeluarkan dari sekolah umum.
Anak ADHD dan Cap Nakal
Cap nakal sering kali melekat pada anak ADHD. Perilaku yang mereka tunjukkan membuat resah atau jengkel orang di sekitarnya. Misalnya seperti perilaku kasar, tidak peka, keras, suka membuat ramai, memukul, atau mengambil barang milik teman. Selain itu, mereka juga tidak mau menunggu giliran dan melanggar peraturan. Contohnya, anak bolak-balik ke kamar mandi dan ke ruang guru. Dalam hubungan sosial, anak ADHD sering dikucilkan dan jarang bermain dengan kelompok sebayanya. Akhirnya anak tidak mempunyai teman dan justru menjadi semakin nakal.
Anak ADHD dan Prestasi Belajar
Lalu bagaimana hubungan antara anak penderita ADHD dengan prestasi belajarnya? Beberapa penelitian menunjukan bahwa anak ADHD memiliki prediksi hasil belajar yang rendah. Terutama dalam bidang membaca dan menghitung. Penelitian dari Putri, dkk (2019) menunjukan bahwa prestasi anak ADHD lebih rendah daripada anak yang tidak mengalami ADHD. Mereka membutuhkan kelas khusus, kelas tambahan, dan guru pendamping untuk membantu memahami pelajaran. Salah satu penanganan yang dapat membantu adalah dengan memahami gaya belajar anak dan menerapkannya dalam proses belajar.
Anak ADHD membutuhkan kelas khusus, kelas tambahan, dan guru pendamping untuk membantu memahami pelajaran. Salah satu penanganan yang dapat membantu adalah dengan memahami gaya belajar anak dan menerapkannya dalam proses belajar.
Gaya Belajar Anak ADHD
Dalam penelitiannya Arif Widodo (2020) menyimpulkan bahwa siswa ADHD lebih menyukai gaya belajar kinestetik. Dari kelompok yang mereka teliti, sebesar 81% siswa memiliki gaya belajar kinestetik, 14% visual, dan 5% audio.
Anak ADHD pada umumnya juga mengalami masalah psikologis seperti gelisah, depresi, cemas, dan kekacauan pribadi. Bisa dipahami jika gaya belajar kinestetik lebih tepat untuk anak ADHD yang memang suka bergerak. Mereka dapat belajar observasi lingkungan, bermain peran, berjalan-jalan dan bermain alat musik.
ADHD dan Anak Berkebutuhan Khusus
Apakah ADHD termasuk anak berkebutuhan khusus? Benar. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mengalami gangguan fisik, mental, intelegensi, dan emosi. sehingga mereka membutuhkan pembelajaran secara khusus dalam mengenyam pendidikan (Kosasih, 2012). Mendidik siswa dengan ADHD tidaklah mudah. Ini membutuhkan kerja sama antara guru, terapis, guru pendamping, dan orang tua. Selain itu gejala mental, intelegensi, dan emosi yang ditunjukkan anak ADHD memang membutuhkan penanganan khusus. Salah satunya adalah dengan pendidikan inklusif.
Pendidikan Inklusif untuk Anak ADHD
Ada 3 aspek yang membuat pendidikan inklusif sesuai untuk anak ADHD.
Pertama, pendidikan inklusif membuka peluang untuk siswa dengan berbagai jenis gangguan atau permasalahan. Ini dikarenakan pendidikan inklusif menyadari pentingnya tema dalam pendidikan dan menghargai perbedaan.
Kedua, pendidikan inklusif menghindari aspek negatif labeling yang dapat menyudutkan keterbatasan dan kekurangan siswa.
Ketiga, pendidikan inklusif memiliki check and balances. Anak akan mendapatkan pengawasan dan pemeriksaan, serta banyak pihak/peran yang terlibat. Dengan demikian anak mendapatkan saran dan perencanaan yang terbaik dalam mengembangkan potensinya.
Potensi Anak ADHD
Apakah anak ADHD memiliki tingkat kecerdasan dibawah normal? Kesalahpahaman masyarakat tentang orang ADHD adalah anggapan bahwa mereka pasti memiliki IQ lebih tinggi, atau sebaliknya, memiliki IQ yang rendah. Namun faktanya, anak dengan ADHD memiliki tingkat IQ mulai dari rendah, sedang, dan tinggi.
Masyarakat sering melihat perilaku anak ADHD yang sulit fokus dan memperhatikan pelajaran sekolah. Bahkan beberapa anak ADHD harus dikeluarkan sekolah karena prestasi belajarnya. Hal ini menyebabkan masyarakat berpikir bahwa anak ADHD memiliki IQ rendah. Lalu terkadang mereka mengalami hiperfokus sehingga membuat orang berpikir bahwa anak ADHD memiliki IQ tinggi.
Penelitian dari Wood, dkk (2010) menunjukkan bahwa IQ rendah tidak dapat menjelaskan gangguan kognitif pada ADHD. Penelitian Maja, dkk (2011) menunjukan bahwa tidak ada perbedaan karakteristik antara anak ADHD dengan IQ rendah, sedang, maupun tinggi. Kesamaan mereka adalah dalam gangguan belajar komorbid, gangguan kejiwaan, dan risiko penyalahgunaan zat. Kemudian anak ADHD dengan IQ yang tinggi memiliki ibu dengan pendidikan yang lebih tinggi. Contohnya, lulusan perguruan tinggi dan prestasi membaca yang lebih tinggi.
Meskipun begitu, IQ tinggi memang dapat membantu anak dalam keberhasilan di sekolah. Penelitian yang sama juga menemukan bahwa anak ADHD dengan IQ tinggi cenderung memiliki hasil sekolah yang lebih baik. Remaja ADHD dengan IQ tinggi juga memiliki skor membaca rata-rata yang lebih tinggi.
Penutup: Pendidikan Untuk Anak ADHD
Seperti anak normal lainnya, anak ADHD mempunyai potensi dan bakat yang perlu diketahui dan dikembangkan. Pendidikan inklusif merupakan pendidikan yang tepat bagi anak ADHD. Dengan pendidikan inklusif, mereka akan mendapatkan pengawasan dan bimbingan terkait perkembangan diri. Pendidikan juga membantu anak mengendalikan gejala ADHD pada usia dewasa nantinya. Jika sudah mengetahui gejala ADHD pada buah hati, orang tua perlu menemui dokter, psikiater atau psikolog agar anak bisa mendapatkan penangan dan pendidikan yang lebih sesuai.
Referensi
Taylor, E. (1992). Anak Hiperaktif Tuntunan Bagi Orang tua (terjemahan Alex Tri Kanjono). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Arga Paternotte dan Jan Buitelaar, ADHD ( Attention Deficit Hyperactivity dirsorder) : Gangguan Pemusatan Perhatian dan hiperaktivitas (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 78.
Faraone, S. V. and Larsson, H. (2018) ‘Genetics of attention deficit hyperactivity disorder’, Molecular Psychiatry, pp. 1–14
Perera, F. P. et al. (2018) ‘Combined effects of prenatal exposure to polycyclic aromatic hydrocarbons and material hardship on child ADHD behavior problems’, Environmental Research. Elsevier Inc., 160(September), pp. 506–513. doi: 10.1016/j.envres.2017.09.002
[Gould, K. L. et al. (2018) ‘Gene-Environment Interactions in ADHD: The Roles of SES and Chaos’, Journal of Abnormal Child Psychology. Journal of Abnormal Child Psychology, 46(2), pp. 251–263.
Grizenko, N., Fortier, M. E., Zadorozny, C., Thakur, G., Schmitz, N., Duval, R., & Joober, R. (2012). Maternal stress during pregnancy, ADHD symptomatology in children and genotype: gene-environment interaction. Journal of the Canadian Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 21(1), 9.
Rahayu, S. M. (2014). Deteksi dan intervensi dini pada anak autis. Jurnal Pendidikan Anak, 3(1).
Zafiera, F. (2007). Anak Hiperaktif. JogjaKarta: Katahat
NH, F. A., & Setiawati, Y. (2017). Interaksi Faktor Genetik dan Lingkungan pada Attention Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD). Jurnal Psikiatri Surabaya, 6(2), 98-107.
Awiria, A., & Dariyanto, D. (2020). Analisis faktor-faktor penyebab Anak menjadi Attention Defict Hyperactive Disorder di SDN Teluk Pucung 01 Kota Bekasi.
Rumambi, P. C., Munayang, H., & Kaunang, T. M. (2020). Prestasi akademik pada anak dengan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas di sembilan sekolah dasar swasta di Kota Manado. JURNAL KEDOKTERAN KOMUNITAS DAN TROPIK, 7(2)
Kosasih, E. (2012). Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung : Yrama Widya
Wood, A. C., Rijsdijk, F., Johnson, K. A., Andreou, P., Albrecht, B., Arias-Vasquez, A., … & Kuntsi, J. (2011). The relationship between ADHD and key cognitive phenotypes is not mediated by shared familial effects with IQ. Psychological Medicine, 41(4), 861-871.
Katusic, M. Z., Voigt, R. G., Colligan, R. C., Weaver, A. L., Homan, K. J., & Barbaresi, W. J. (2011). Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder in children with high IQ: results from a population-based study. Journal of developmental and behavioral pediatrics: JDBP, 32(2), 103.
Leroux JA, L-PM The gifted child with attention deficit disorder: An identification and intervention challenge. Roeper Review. 2000;22:171–176.
*This article is reviewed by Ganda M. Y. Simatupang, M. Psi., Psikolog