
Para peneliti memperkirakan bahwa 5-10 orang dari 100 anak mengalami ADHD. Gangguan ini juga diduga dialami oleh setidaknya 3-5% pada populasi orang dewasa.
Melihat angka di atas, besar kemungkinan ADHD ada di sekitar Anda tanpa Anda sadari. Mereka mungkin seseorang yang Anda kenal, dekat dengan Anda, atau bahkan anggota keluarga Anda.
Penanganan dini bisa membantu mengendalikan dan mengurangi gejala ADHD. Karena itu, masyarakat perlu lebih jeli untuk mengenali gejala dan penyebabnya.
Apa itu ADHD?
ADHD, singkatan dari attention deficit/hyperactivity disorder, adalah suatu gangguan perkembangan yang banyak terjadi pada anak-anak. Anak-anak dengan gangguan ADHD mengalami kesulitan untuk mempertahankan konsentrasi atau perhatian, sering kali disertai tingkah laku hiperaktif dan impulsif.
Anak-anak dengan gangguan ADHD mengalami kesulitan untuk mempertahankan konsentrasi atau perhatian, sering kali disertai tingkah laku hiperaktif dan impulsif.
Anak-anak dengan gangguan ADHD mengalami kesulitan untuk mempertahankan konsentrasi atau perhatian, sering kali disertai tingkah laku hiperaktif dan impulsif.
Apakah ADHD Termasuk Gangguan Jiwa?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, perlu diingat bahwa istilah gangguan jiwa atau gangguan mental (mental disorder) memiliki cakupan yang luas. Orang tua atau individu perlu berhati-hati untuk tidak memberikan atau mengenakan label dengan pemahaman yang salah tentang label tersebut.
Gangguan jiwa adalah kondisi yang bercirikan gangguan emosional dan pikiran, tingkah laku yang abnormal, fungsi yang terganggu, atau kombinasi dari ciri-ciri tersebut.
Individu yang mengalami ADHD menunjukkan tingkah laku yang berbeda dari individu normal, sering mengalami kesulitan dalam fungsi belajar atau melaksanakan kegiatan sehari-hari, dan terkadang disertai juga dengan masalah emosi dan pikiran.
Melihat definisi dan ciri tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ADHD termasuk ke dalam gangguan jiwa atau gangguan mental.
Apa Gejala ADHD?
Perlu dipahami bahwa anak-anak normal juga menunjukkan tingkah laku yang menyerupai gejala ADHD. Bedanya, pada anak-anak yang mengalami ADHD, gejala tersebut jauh lebih sering terjadi, cenderung menetap, dan menunjukkan pola-pola tertentu.
Perhatian Rendah
Salah satu ciri yang selalu muncul pada gangguan ADHD adalah kesulitan untuk memberikan perhatian. Individu dengan ADHD mudah teralihkan perhatiannya dari satu hal ke hal lain. Rentang konsentrasi mereka juga singkat sehingga sulit untuk mengikuti kegiatan yang berdurasi lama.
Saat bermain, mereka dengan cepat berpindah dari satu permainan ke permainan lainnya. Dalam interaksi sehari-hari, anak dengan gangguan ADHD terlihat seolah tidak mendengarkan saat lawan bicaranya bertanya atau bercerita.
Anak dengan ADHD sering lalai untuk memberikan perhatian pada detail dan sulit untuk mengikuti instruksi. Mereka sering melakukan kesalahan atau kecerobohan, baik dalam tugas sekolah maupun aktivitas lainnya.
Tingkah laku mereka juga menunjukkan ciri-ciri orang yang pelupa. Mereka bahkan lupa akan hal-hal rutin yang dilakukan sehari-hari. Mereka sering kehilangan barang-barang pribadi, seperti pensil, buku, kacamata, dan lain sebagainya.
Tingkah Laku Hiperaktif
Tidak semua anak yang mengalami ADHD memiliki gejala hiperaktif. Walau demikian, saat gejala tersebut hadir, ciri-cirinya mudah dikenali.
Gejala hiperaktif ditunjukkan dengan pergerakan yang berlebihan. Anak hiperaktif sulit untuk duduk tenang dan sering melakukan gerakan tambahan seperti mengetuk-ngetukkan tangan atau kaki. Kesulitan untuk duduk tenang juga terjadi di dalam kelas.
Mereka sering bertingkah laku berlawanan dari apa yang seharusnya. Mereka berlari atau memanjat saat mereka seharusnya berdiri diam atau duduk tenang. Tubuh mereka seolah motor yang selalu siap untuk melaju.
Tidak hanya bergerak secara berlebihan, tingkah laku hiperaktif juga ditunjukkan dengan berbicara secara berlebihan.
Tingkah Laku Impulsif
Fase impulsif dialami semua anak, termasuk anak normal. Ini adalah usia di mana anak tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan dorongan. Mereka tidak mengenal kata ‘tunggu’ dan harus mendapatkan apa yang mereka inginkan saat itu juga. Contohnya, seorang balita mengambil mainan dari tangan balita lain karena dia menginginkan mainan tersebut.
Seiring pertambahan usia, anak belajar untuk mengendalikan dorongan dalam diri dan menunggu sebelum beraksi. Tidak demikian dengan anak yang mengalami ADHD. Pengendalian mereka atas dorongan dalam diri tetap rendah. Malah tingkah laku mereka lebih banyak dikendalikan oleh dorongan tersebut.
Ciri-ciri yang termasuk ke dalam tingkah laku impulsif misalnya seperti sering melakukan interupsi. Mereka masuk ke tengah-tengah percakapan orang lain atau menjawab pertanyaan sebelum orang yang bertanya selesai berbicara.
Interupsi juga terjadi dalam bermain. Mereka mengikutsertakan dirinya dalam suatu permainan yang sedang berlangsung tanpa bertanya terlebih dahulu. Di mata orang lain, tingkah laku ini terlihat seperti kenakalan atau gangguan.
Apakah ADHD Berbahaya?
Berbagai penyakit fisik memiliki bahaya mematikan secara langsung. Ini berbeda dengan ADHD. Bahaya fisik maupun mental yang dialami oleh anak dengan gangguan ADHD bersifat tidak langsung. Bahaya ini adalah akibat gejala ADHD yang ia miliki.
Bahaya Fisik
Pada masa balita, anak yang mengalami ADHD dengan gejala hiperaktif memiliki risiko lebih besar untuk mengalami cedera. Mereka berlari, memanjat, meloncat, lalu terjatuh atau menabrak benda keras. Mereka juga menyentuh, menarik, memegang, atau menggenggam berbagai benda yang kadang berbahaya.
Pada masa kanak-kanak dan remaja, tingkah laku mengganggu anak lain bisa memicu perkelahian. Perkelahian fisik tentunya mengakibatkan cedera fisik, baik ringan maupun berat.
Bahaya Mental
Di sekolah, anak dengan ADHD rentan akan bahaya mental dan psikis. Tidak semua guru jeli untuk melihat dan menyadari bahwa anak didiknya mungkin menunjukkan gejala ADHD. Para pendidik tersebut hanya melihat tingkah laku yang ditampilkan anak dan memberikan label nakal atau bodoh.
Teman-teman juga cenderung menjauh. Anak dengan gangguan ADHD sulit untuk dijadikan teman bermain karena tidak pernah bermain sampai selesai. Mereka dianggap kurang sopan karena sering memotong pembicaraan orang lain. Selain itu, teman-teman merasa mereka tidak pernah mendengarkan saat diajak berbicara.
Resiko ADHD pada Orang Dewasa: Tidak Kompeten dan Masalah Hukum
ADHD sering kali menetap dan berlanjut hingga masa remaja dan dewasa. Pada orang dewasa, gangguan ADHD mengakibatkan individu sulit untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Mereka bisa memulai dengan penuh semangat namun membutuhkan upaya ekstra untuk menyelesaikannya. Kadang kala mereka gagal untuk menyelesaikan tugas dan terlihat sebagai individu yang tidak kompeten.
Mereka juga memiliki risiko yang lebih besar untuk mengalami kecelakaan, termasuk saat mengemudi. Tingkah laku yang impulsif bisa berbahaya dan secara ekstrem bisa menempatkan mereka sebagai orang yang tidak taat hukum dan aturan.
Apa Penyebab ADHD?
Orang tua dari anak ADHD tentunya penasaran tentang penyebab kondisi anak mereka. Selain itu, orang tua juga bertanya-tanya apakah gangguan ADHD diturunkan oleh salah seorang dari mereka.
Kebanyakan kasus ADHD tidak bisa benar-benar ditelusuri penyebabnya. Tapi berbagai penelitian kemudian menyimpulkan bahwa ADHD dimulai sejak salah satu dari 3 periode perkembangan ini, yaitu prenatal, perinatal, dan postnatal. Jika dilihat dari sumbernya, penyebab ADHD terbagi atas 2 bagian, yaitu lingkungan dan genetika.
Jika dilihat dari sumbernya, penyebab ADHD terbagi atas 2 bagian, yaitu lingkungan dan genetika.
Faktor Lingkungan
Prenatal
Prenatal adalah periode perkembangan sejak terjadinya pembuahan sampai bayi dilahirkan. Faktor penyebab ADHD selama masa prenatal antara lain adalah:
- Abnormalitas perkembangan otak
- Anemia pada ibu
- Toxemia (calon ibu mengalami tekanan darah tinggi, kaki dan tangan bengkak, mengeluarkan protein dalam urin, dikenal juga dengan istilah preeclampsia) selama masa kehamilan
- Penyalahgunaan alkohol atau kokain, serta rokok (baik ibu merokok maupun sebagai perokok pasif)
Selain itu, kehamilan yang terpapar berbagai faktor dari lingkungan juga diduga berperan sebagai penyebab ADHD, antara lain:
- Terpapar timbal
- PCB (polychlorinated biphenyl, kadang ditemukan pada cat atau plastik)
- Pestisida dalam air atau makanan
- Kekurangan yodium
- Hypothyroidism (masalah pada thyroid yang mengakibatkan kekurangan hormon thyroid)
Penelitian juga menemukan bahwa kehamilan yang terpapar infeksi virus, seperti influenza, pada trimester pertama hingga masa kelahiran, terbukti berkorelasi dengan diagnosis ADHD.
Perinatal
Periode ini sering didefinisikan berbeda-beda. Namun, secara umum ini adalah periode sebelum kelahiran hingga sekitar 18 bulan setelah bayi lahir. Termasuk di dalamnya adalah proses persalinan. Faktor penyebab di masa perinatal antara lain adalah:
- Kelahiran prematur
- Bayi yang lahir sungsang (bokong atau kaki keluar duluan)
- Anoxic-ischemic-encephalopathy (kerusakan otak yang biasanya diakibatkan oleh oksigen atau aliran darah ke otak tidak lancar)
- Pendarahan otak
- Meningitis
- Encephalitis (peradangan pada otak akibat infeksi atau reaksi autoimmune).
Postnatal
Periode postnatal dimulai sejak bayi dilahirkan. Faktor penyebab ADHD pada masa ini misalnya:
- Cedera kepala pada bayi
- Meningitis
- Encephalitis
- Peradangan pada area tengah telinga
- Kadar gula darah yang rendah.
Selain itu, obat-obatan yang digunakan untuk merawat penyakit masa kanak-kanak, seperti asma dan epilepsi, dapat memperburuk tingkah laku hiperaktif dan mengakibatkan kesulitan dalam belajar.
Terkait diet, ada berbagai kontroversi tentang pengaruhnya terhadap ADHD. Walau demikian, ditemukan bahwa zat aditif pada makanan, sukrosa, kekurangan omega 3, serta alergi terhadap makanan tertentu, kadang-kadang berpengaruh terhadap gejala ADHD.
Faktor Genetika
Genetika juga merupakan salah satu penyebab terjadinya ADHD pada anak. Penting untuk diketahui bahwa gen yang berperan bukan satu atau dua gen saja, melainkan banyak gen. Kondisi ini disebut juga dengan polygenic.
Selain itu, kombinasi gen tersebut bisa berasal dari kedua belah pihak orang tua. Di satu sisi, ini mempersulit proses penelusuran sumber gangguan. Di sisi lain, informasi ini mencegah orang tua saling mencurigai atau menyalahkan saat anak mengalami ADHD.
ADHD yang terjadi akibat kelainan genetika memang diturunkan. Penelitian menunjukkan bahwa anak dari orang tua yang mengalami ADHD memiliki risiko mengalami ADHD sebesar 57%. Selain itu, sekitar 32% saudara-saudara dari anak dengan ADHD juga mengalami ADHD. Hal yang sama dialami oleh 70-80% saudara kembar identik dari anak dengan gangguan ADHD

Bagaimana Cara Mendiagnosis ADHD?
Mengetahui ciri-ciri dan gejala ADHD saja tidak cukup untuk dijadikan dasar dalam menegakkan diagnosis. Seperti dijelaskan sebelumnya, berbagai ciri dan tingkah laku anak dengan ADHD juga ditunjukkan oleh anak normal. Karena itu, diperlukan pengetahuan dan keahlian yang lebih dalam untuk dapat membedakan ciri tersebut pada anak normal dan anak dengan ADHD
Profesional
Tenaga profesional yang dapat dipercaya untuk melakukan diagnosis antara lain adalah dokter anak, dokter jiwa, dan psikolog anak. Mereka umumnya melakukan diagnosis dengan mengacu pada definisi dan kriteria dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition (DSM-5) yang dikembangkan oleh American Psychiatric Association (APA).
Psikolog atau dokter menegakkan diagnosis berdasarkan data tentang gejala yang muncul, frekuensinya, serta tingkat keparahannya. Walaupun terdapat tes untuk screening ADHD, penggunaannya hanya sebatas gambaran awal saja.
Orang Tua dan Guru
Orang tua dan guru berperan besar dalam proses penegakan diagnosis. Mereka adalah sumber utama untuk mendapatkan informasi tentang tingkah laku anak sehari-hari. Selain itu, sejarah kesehatan dan perkembangan anak sejak masa kehamilan juga dapat dijadikan informasi tambahan yang berguna untuk membantu proses diagnosis.
Apakah ADHD Bisa Sembuh?
Berbagai sumber dan penelitian menunjukkan bahwa ADHD tidak bisa disembuhkan namun gejalanya bisa dikendalikan.
Ada berbagai pendekatan dilakukan untuk menangani ADHD. Termasuk di dalamnya adalah terapi obat-obatan, terapi psikologis, neurofeedback, diet dan suplemen, serta olahraga. Kita akan melihat sekilas tentang 2 penanganan yang sering diterapkan.
Terapi Obat-obatan
Obat-obatan terbukti dapat membantu mengurangi gejala ADHD pada anak-anak dan remaja. Walau demikian, pada beberapa anak obat-obatan juga memberikan efek samping. Efek samping tersebut antara lain adalah penurunan nafsu makan, mual, sakit kepala, insomnia, radang tenggorokan, pusing, nyeri dada, gelisah, dan lesu
Terapi Psikologis
Teknik yang dipakai dalam terapi psikologis untuk membantu menangani ADHD antara lain adalah Cognitive Behavioral Therapy dan Attention Training Techniques.
Selain itu, ada juga Behavioral Parent Training, yaitu pelatihan yang diberikan kepada orang tua dari anak dengan gangguan ADHD. Tujuan pelatihan ini adalah untuk membekali orang tua dengan teknik-teknik yang dapat digunakan dalam menangani anak sehari-hari.
Rangkuman dan Saran
ADHD adalah gangguan perkembangan pada anak yang ditandai dengan kesulitan untuk memberikan perhatian, sering kali disertai tingkah laku hiperaktif atau impulsif. ADHD bisa disebabkan oleh faktor genetika maupun lingkungan dan dapat terjadi sebelum, selama, maupun sesudah proses persalinan. Diagnosis dan penanganan dini dapat membantu mengendalikan gejala ADHD. Karena itu, masyarakat perlu mengenal gambaran umum gejala ADHD dan mengunjungi profesional jika mencurigai orang yang dikasihi mengalaminya.
Referensi
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorder (5th ed.). Arlington, VA: Author.
Barkley, R. A. (Ed.). (2015). Attention deficit hyperactivity disorder: A handbook for diagnosis and treatment (4th ed.). The Guilford Press.
Núñez-Jaramillo, L., Herrera-Solís, A., & Herrera-Morales, W. V. (2021). ADHD: Reviewing the causes and evaluating solutions. Journal of Personalized Medicine, 11 (3), 1-25.
Wender, P. A. & Tomb, D. A. (2017). ADHD: A guide to understanding symptoms, causes, diagnosis, treatment, and changes over time in children, adolescents, and adults (5th ed.). Oxford University Press.
*This article is reviewed by Ganda M. Y. Simatupang, M. Psi., Psikolog